Advertisement

  • Negara Islam Indonesia, Mimpi Muslim Untuk Nusantara

    Baru-baru ini, muncul kasus cuci otak dengan korban para mahasiswa yang dimanfaatkan oleh oknum berkedok NII. Para korban kemudian menjadi obyek eksploitasi setelah berhasil didoktrin menjadi pengikut ajaran “neo-NII” yang sebenarnya sudah menyimpang dari konstitusi NII yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo.
    Sudah lebih 60 tahun negara ini memperoleh kemerdekaannya setelah dijajah oleh beberapa bangsa asing selama tiga ratus tahun lebih. Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. Fakta—kalau memang benar-benar fakta—yang diungkapkan dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah maupun yang tersimpan di dalam arsip nasional Pemerintah Indonesia dianggap sebagai kebohongan oleh sebagian pihak, termasuk di antaranya komunitas yang mengaku sebagai Warga Negara Islam Indonesia dan para simpatisannya.
    Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama yang tak dapat dilepaskan dari pembahasan masalah yang berkaitan dengan Negara Islam Indonesia. Dialah pendiri negara berasas Islam tersebut. Dalam sejarah yang kita pelajari, Kartosoewirjo adalah tokoh yang tidak lebih dari seorang pemberontak yang telah mendirikan negara baru di wilayah negara Republik Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah saw.
    Di masa reformasi ini, saat tak ada lagi yang harus ditutup-tutupi, sudah selayaknya masyarakat, dalam hal ini umat Islam, menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962).

    Kekecewaan Terhadap Sekularisme Nasional
    Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah.
    Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik dan menerima proklamasi tersebut. Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam.
    Semenjak itu, kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”. Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
    Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya.
    Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai "Islam yang muncul dalam wajah tegang." Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah “pemberontakan”.
    Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius. Bahkan namanya pun memicu polemik, ‘Pemberontak’kah dia atau seorang ‘Syuhada’.

    NII, Nama Besar yang Disalahgunakan Banyak Oknum
    Beberapa tahun belakangan, muncul suatu pembahasan di berbagai kalangan, terutama mahasiswa Muslim, tentang kembali bangkitnya pergerakan NII. Namun, tak banyak informasi yang dapat menjelaskan secara lengkap dan runut mengenai pergerakan tersebut. Berbagai sumber mengatakan bahwa NII yang banyak dibicarakan orang saat ini bukanlah NII atau DI/TII seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. NII yang, konon, menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah ini disebut-sebut memiliki kaitan erat dengan Pondok Pesantren Al-Zaytun di Jawa Barat. Pondok pesantren modern ini berdiri pada akhir tahun 1990-an dan diresmikan oleh Presiden RI saat itu, B.J. Habibie.
    Sebuah situs di internet menyebutkan ciri-ciri kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan NII tersebut. Berikut ini adalah sebagian ciri-cirinya: 1. Dalam mendakwahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat, dan baru akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan. 2. Para calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga, para calon dengan mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah omongan tentang Dinul Islam. Padahal, kebanyakan akal merekalah yang berbicara dan bukan Dinul Islam yang mereka ungkapkan. Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan, sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih islam. Islam hanya sebagai alat penyedot uang. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu/berbohong meskipun kepada orang tua sendiri.

    Negara dengan Syariat Islam dan Persepsi yang Keliru
    Tak banyak orang yang mengerti apakah syari’at Islam itu sesungguhnya. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa syari’at itu tak lain hanyalah hukuman potong tangan bagi yang mencuri, hukuman rajam bagi yang berzinah, dan hukuman mati bagi yang membunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh tersebut. Padahal, sebenarnya, syari’at Islam memiliki makna yang lebih dalam daripada semua hal tersebut karena syari’at Islam bukan hanya mengatur bagaimana tata cara dan norma-norma yang harus dipatuhi dalam berhubungan dengan sesama manusia atau disebut juga muamalah melainkan juga mengatur mengenai hubungan manusia dengan Penciptanya yaitu Allah swt. Contohnya antara lain, ibadah salat lima waktu yang kita tunaikan tiap hari.
    Karena luasnya bidang kehidupan yang diatur dalam Islam, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Islam hanya sebatas agama yang diyakini pemeluknya, melainkan merupakan suatu totalitas yang memiliki cakupan universal. Luasnya cakupan itu antara lain ditunjukkan dengan adanya konsep bernegara dalam Islam. Konsep bernegara itu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan mendirikan Negara Islam Madinah.
    Negara Islam Madinah pada masa itu merupakan prototipe dari suatu negara modern karena kerangka bernegaranya sudah diatur secara tertulis dengan dibentuknya Piagam Madinah, yang tak lain merupakan konstitusi negara. Sudah banyak para peneliti Barat yang melakukan penelitian terhadap jejak-jejak kejayaan umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw., di antaranya adalah W. Montgemery Watt yang telah banyak melakukan penelitian dan pengkajian terhadap Piagam Madinah. Dialah yang menamai piagam tersebut sebagai “The Constitution of Medina”. Sementara, dalam naskah Piagam Madinah sendiri, piagam tersebut dinamai dengan Al- Shahifah. Maknanya tidaklah berbeda dengan kata-kata charter atau piagam.
    Negara Islam Madinah telah melaksanakan syari’at Allah swt sepenuhnya, meskipun Rasullullah saw memahami bahwa masyarakat Madinah tidak seluruhnya beragama Islam melainkan merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Namun, akhirnya Islam tetap ditegakkan.
    Dipandang dari sudut ilmu ketatanegaraan modern, piagam tersebut sudah memenuhi syarat-syarat sebagai konstitusi. Ada tiga syarat agar suatu naskah dapat dijadikan sebagai konstitusi suatu negara, yaitu: pertama, mengatur pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Bila dikaitkan dengan Piagam Madinah, pembagian kekuasaan di situ dapat disamaartikan dengan pembagian tugas dari masing-masing golongan untuk membela kepentingan sesama penduduk Madinah, Kedua, dalam piagam tersebut juga diatur hubungan antara masing-masing lembaga negara, dalam hal ini diatur hubungan antara masing-masing kaum, Ketiga, perlindungan terhadap hak asasi manusia para rakyatnya. Dikaitkan dengan Piagam Madinah, perlindungan terhadap manusia sangat ditekankan karena dapat diketahui dari asal muasal dibentuknya Piagam Madinah, yaitu untuk mewadahi segala kepentingan politik setiap anggota kaum yang terdapat di Madinah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 16 yang menyebutkan: “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya.”.
    Dengan adanya piagam tersebut, maka Madinah telah memenuhi unsur-unsur awal untuk terbentuknya suatu Negara Madinah. Syarat-syarat itu antara lain, adanya wilayah tertentu yakni kota Madinah, adanya rakyat yakni masyarakat Madinah, dan adanya pemerintahan yang berdaulat yakni Nabi Muhammad saw. Dengan adanya piagam ini, maka kedaulatan Tuhan yang bersifat teosentris mulai berlaku di seluruh penjuru Madinah.
    Selanjutnya, pemerintah Islam hendaklah menegakkan yang benar dan membasmi yang salah. Apalah artinya negara Islam jika pemerintahnya dengan leluasa memerangi yang ma’ruf dan menegakkan yang munkar. Perkara ma’ruf yang jelas ialah melaksanakan hukum-hukum Allah swt., seperti yang terkandung dalam hukum hudud, qisas, takzir, dan sebagainya. Perkara munkar adalah jelas seperti mabuk, judi, menyembah berhala, meramal, dan sebagainya berdasarkan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 90. Semuanya wajib diberantas dengan cara memperbaiki akhlak tiap manusia serta diikuti dengan perbaikan sistem. Ada pepatah yang mengatakan bahwa di dalam sistem yang baik, orang yang paling jahat pun tidak akan dapat melakukan kejahatan.
    Indikasi adanya perubahan bangsa kita ke arah yang tidak baik dapat kita lihat dari banyaknya tayangan media elektronik yang banyak mengandung adegan kekerasan, tayangan mistik dengan menampilkan paranormal yang menggunakan simbol-simbol agama Islam, dan tayangan yang dengan vulgar mengumbar aurat bahkan video porno. Semua hal tersebut secara tak langsung dilegalkan dengan berlindung pada tembok Hak Asasi Manusia. Tembok tersebut dibangun dari rasio manusia tanpa didasari oleh nilai-nilai agama sebagai pondasinya. Sekiranya hal tersebut tidaklah dapat diterima oleh kita umat Islam. Dengan pola pikir bangsa Indonesia yang seperti itu, maka semakin terpuruklah bangsa kita karena sudah mulai kehilangan jati dirinya di muka masyarakat internasional.

    NII, Impian Seorang Muslim
    Dari kesemua uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Islam mengenal apa itu konsep negara. Negara Islam tetap memberikan tempat pada agama lain dan memberikan jaminan kebebasan kepada umat agama lain untuk tetap beribadah menurut agamanya masing-masing. Itulah keadilan dalam Islam. Maka, mungkinlah apabila seorang Muslim bertemu dengan Muslim yang lain membicarakan konsep negara, kemudian mereka bersama-sama melakukan pergerakan untuk membangun Negara Islam Indonesia yang merupakan hak dari mereka sebagai umat islam dan Warga Negara Indonesia.
    Perbuatan itulah yang kemudian dilakukan oleh Kartosoewirjo dengan DI/TII-nya. Patut disayangkan di sini adalah bahwa pergerakan yang dilakukan tidaklah harus selalu dengan suatu pemberontakan demi mengharap suatu perubahan yang cepat diraih. Alangkah baiknya sebelum kita mendirikan suatu negara yang berlandaskan pada hukum Allah swt., dibangunlah dahulu pemikiran-pemikiran yang dapat diterima oleh rasio atau yang berlandaskan metode ilmiah. Dengan begitu, kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh karena masyarakat telah mendapat pendidikan mengenai apa itu sebenarnya negara Islam yang juga merupakan haknya. Karena pada masa sekarang ini, menggunakan kekerasan untuk mencapai perubahan sudah tidak dapat ditoleransi lagi.

0 komentar:

Leave a Reply

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos