Advertisement

  • Dr. Said Inayatullah : “Islam Menghormati Tradisi Selama Tidak Mengandung Hal-Hal yang Diingkari oleh Syariat”

    Bulan muharram di Indonesia identik dengan berbagai macam tradisi yang mewakili budaya masyarakat di tiap daerah. Tradisi tersebut boleh berupa aneka ritual dan kegiatan yang terkadang masih diragukan keabsahannya oleh agama. Entah dari mana asalnya, berbagai perayaan ini diadakan bertepatan dengan bulan Muharram yang merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam dan juga bulan yang penuh sejarah. Untuk mengetahui lebih dalam bagaimana Islam memandang posisi tradisi dalam syariat Islam, berikut ini hasil wawancara Syafiq al-Idrus dengan Dr. Said Inayatullah dari Makkah di sela kunjungannya ke Pesantren Darullughah Wadda’wah sebelum menghadiri seminar internasional di Pasuruan dalam rangkaian acara beliau di Indonesia.

    Bagaimana pendapat Syaikh tentang tradisi?
    Menurut saya, Islam menghormati tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Telah diriwayatkan dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebuah hadis yang terkenal bahwa beliau berkata kepada istrinya, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu anha : “Kalau bukan karena kaummu baru melewati masa jahiliyyah, sungguh akan aku robohkan ka’bah dan aku jadikan dua pintu, pintu timur dan pintu barat. Dan akan aku tambahkan enam dziro’. Sesungguhnya kaum Quraisy menguranginya ketika ketika membangun ka’bah ” (HR Muslim). Ini adalah hal yang besar karena muncul dari nabi Muhammad saw., karena sabdanya adalah tasyri’ (menjadi syari’at) begitu pula apa yang beliau kerjakan. Tradisi memang berbeda-beda, kecuali jika tradisi tersebut termasuk hal yang mungkar maka haram. Jika suatu daerah memiliki tradisi minum minuman keras (khamr), maka tentu saja ini haram.
    Dalam berpakaian, kita tidak memaksa mereka memakai pakaian yang sama dengan kita (orang arab), karena tujuan dari berpakaian adalah menutup aurat dan itu bisa dilakukan dengan pakaian apa saja. Begitu pula jika seseorang memiliki metode sendiri dalam berdakwah, menasehati manusia, mereka mendirikan sekolah, menyampaikan pengajaran dalam masjid, berkumpul beramai-ramai dalam acara resepsi atau menunjungi orang sakit, di situlah islam mengakui kebiasaan mereka. Para pendidik (syaikh) memiliki cara tersendiri dalam mendidik muridnya. Dalam membaca dzikir, membaca wirid, membaca alqur’an. Tidak ada satu pun dari kita yang memiliki dasar nash shohih baik dari al-quran atau hadis atas hal ini (membaca dzikir, wirid, dan al-qur’an dengan konsep yang seperti kita jumpai). Jika terdapat satu perintah yang disyari’atkan, orang-orang akan berbeda-beda dalam prakteknya.
    Para masyasyikh di India dan Pakistan memiliki praktek yang berbeda dalam mendidik anak didik mereka. Saya sudah melihat di sana. Pada dasarnya, terdapat perintah untuk mengajari dan mendidik. Maka terserah bagaimana penerapannya. Saya mendapati sebagian orang mengingkari beberapa hal yang ashl(landasan hukum)nya disyari’atkan. Tetapi mereka mempertanyakan dalil untuk praktek yang berlandaskan pada ashl tersebut. Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka. Adakah dalil tentang mendirikan madrasah dalam al-qur’an? Dalam hadis? Tidak ada. Tapi dalil untuk ashl nya ada yaitu mengajar. Sebagian orang memilih ceramah, sebagian lagi melalui televisi, sebagian lagi mendirikan universitas. Menghadapi perkembangan teknologi mutakhir saat ini, kita harus melihat landasan hukum dan tujuan syariat (maqshadus syari’ah). Apa yang menyampaikan kita terhadap tujuan tersebut maka itu juga disyariatkan dan tidak sepatutnya diingkari.

    Bagaimana jika tradisi mengandung unsur syirik, atau didapati lagu dan bercampur antara lelaki dan wanita meski mereka menutup aurat?
    Saya sudah bilang, islam menghormati adat selama tidak mengandung hal-hal yang diingkari oleh syariat. Jika tidak ada, maka tidak apa-apa.

    Dr. Said Inayatullah : “Islam Menghormati Tradisi
    Selama Tidak Mengandung Hal-Hal yang Diingkari oleh Syariat”

    Bulan muharram di Indonesia identik dengan berbagai macam tradisi yang mewakili budaya masyarakat di tiap daerah. Tradisi tersebut boleh berupa aneka ritual dan kegiatan yang terkadang masih diragukan keabsahannya oleh agama. Entah dari mana asalnya, berbagai perayaan ini diadakan bertepatan dengan bulan Muharram yang merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam dan juga bulan yang penuh sejarah. Untuk mengetahui lebih dalam bagaimana Islam memandang posisi tradisi dalam syariat Islam, berikut ini hasil wawancara Syafiq al-Idrus dengan Dr. Said Inayatullah dari Makkah di sela kunjungannya ke Pesantren Darullughah Wadda’wah sebelum menghadiri seminar internasional di Pasuruan dalam rangkaian acara beliau di Indonesia.

    Bagaimana pendapat Syaikh tentang tradisi?
    Menurut saya, Islam menghormati tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Telah diriwayatkan dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebuah hadis yang terkenal bahwa beliau berkata kepada istrinya, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu anha : “Kalau bukan karena kaummu baru melewati masa jahiliyyah, sungguh akan aku robohkan ka’bah dan aku jadikan dua pintu, pintu timur dan pintu barat. Dan akan aku tambahkan enam dziro’. Sesungguhnya kaum Quraisy menguranginya ketika ketika membangun ka’bah ” (HR Muslim). Ini adalah hal yang besar karena muncul dari nabi Muhammad saw., karena sabdanya adalah tasyri’ (menjadi syari’at) begitu pula apa yang beliau kerjakan. Tradisi memang berbeda-beda, kecuali jika tradisi tersebut termasuk hal yang mungkar maka haram. Jika suatu daerah memiliki tradisi minum minuman keras (khamr), maka tentu saja ini haram.
    Dalam berpakaian, kita tidak memaksa mereka memakai pakaian yang sama dengan kita (orang arab), karena tujuan dari berpakaian adalah menutup aurat dan itu bisa dilakukan dengan pakaian apa saja. Begitu pula jika seseorang memiliki metode sendiri dalam berdakwah, menasehati manusia, mereka mendirikan sekolah, menyampaikan pengajaran dalam masjid, berkumpul beramai-ramai dalam acara resepsi atau menunjungi orang sakit, di situlah islam mengakui kebiasaan mereka. Para pendidik (syaikh) memiliki cara tersendiri dalam mendidik muridnya. Dalam membaca dzikir, membaca wirid, membaca alqur’an. Tidak ada satu pun dari kita yang memiliki dasar nash shohih baik dari al-quran atau hadis atas hal ini (membaca dzikir, wirid, dan al-qur’an dengan konsep yang seperti kita jumpai). Jika terdapat satu perintah yang disyari’atkan, orang-orang akan berbeda-beda dalam prakteknya.
    Para masyasyikh di India dan Pakistan memiliki praktek yang berbeda dalam mendidik anak didik mereka. Saya sudah melihat di sana. Pada dasarnya, terdapat perintah untuk mengajari dan mendidik. Maka terserah bagaimana penerapannya. Saya mendapati sebagian orang mengingkari beberapa hal yang ashl(landasan hukum)nya disyari’atkan. Tetapi mereka mempertanyakan dalil untuk praktek yang berlandaskan pada ashl tersebut. Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka. Adakah dalil tentang mendirikan madrasah dalam al-qur’an? Dalam hadis? Tidak ada. Tapi dalil untuk ashl nya ada yaitu mengajar. Sebagian orang memilih ceramah, sebagian lagi melalui televisi, sebagian lagi mendirikan universitas. Menghadapi perkembangan teknologi mutakhir saat ini, kita harus melihat landasan hukum dan tujuan syariat (maqshadus syari’ah). Apa yang menyampaikan kita terhadap tujuan tersebut maka itu juga disyariatkan dan tidak sepatutnya diingkari.

    Bagaimana jika tradisi mengandung unsur syirik, atau didapati lagu dan bercampur antara lelaki dan wanita meski mereka menutup aurat?
    Saya sudah bilang, islam menghormati adat selama tidak mengandung hal-hal yang diingkari oleh syariat. Jika tidak ada, maka tidak apa-apa.

0 komentar:

Leave a Reply

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos