Advertisement

  • tau'iyah Telah menjadi bagian dari budaya kita, dan budaya masyarakat kita untuk berkumpul dalam satu majlis untuk menghidupkan dan meperingati kembali peristiwa besar dalam sejarah Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Malam Nisfu Sya’ban, Peristiwa Hijrah Rasul dan Malam Nuzulul Qur’an. budaya semacam ini sangatlah penting dan besar maknanya, namun sangat disayangkan bahwa sebagian kalangan dari kaum muslimin, semoga Allah memberi mereka petunjuk, mempermasalahkan akurasi penanggalan yang dijadikan hari yang diperingati tiap tahunnya. Satu contoh, mereka mempermasalahkan penanggalan kelahiran nabi yang dalam penentuannya masih didapati khilaf di antara ulama, dan berpikir bahwa hal tersebut akan mengurangi nilai peringatan maulid. Bagaimana mungkin kaum muslimin berkumpul pada malam 27 Rajab untuk memperingati Isra’ Mi’raj, dan berkumpul di malam 12 Rabi’ul Awwal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, padahal para ulama masih berselisih pendapat mengenai kepastian kapan terjadinya dua peristiwa tersebut. Bagaimana jika ternyata Nabi Muhammad pada hakikatnya tidak lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal seperti yang selama ini diyakini oleh kebanyakan? Bukankan itu akan menjadi cela dan kesalahan yang fatal. Pernyataan seperti ini seringkali menjadi argumen mereka untuk menyalahkan apa yang selama ini dilakukan oleh mayoritas umat Islam.
    Perlu diketahui bahwa penetapan satu hari tertentu untuk diperingati, seperti 12 Rabi’ul Awwal untuk hari kelahiran Nabi Muhammad, atau 27 Rajab untuk memperingati Isra’ Mi’raj, bukan merupakan substansi atau tujuan utama dari perkumpulan-perkumpulan tersebut. Tidak menjadi masalah meskipun dalam penetapan tanggal tersebut masih terdapat khilaf, masih ada pendapat lain dari ulama, dan belum menjadi mufakat. Karena yang menjadi tujuan utama dari diadakannya majlis di hari tersebut adalah usaha untuk mengumpulkan umat Islam, lalu mengingatkan mereka akan persitiwa penting dalam Islam dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Di malam-malam tersebut umat Islam berkumpul dalam jumlah besar, memperingati bermacam peristiwa bersejarah dalam Islam dengan berdzikir, mengingat Allah, dan membaca shalawat karena cinta kepada Rasulullah. Berkumpulnya mereka untuk berdzikir dan bershalawat itu saja sudah cukup untuk mendapatkan rahmat Allah dan kemurahannya.
    Kita berkeyakinan dengan sangat yakin, bahwa selama berkumpulnya mereka itu dilakukan untuk Allah, lillah, maka pasti akan diterima di sisi Allah dan mendapat imbalan pahala dariNya. Amalan mereka akan diterima meskipun ternyata mereka salah dalam penentuan atau penetapan tanggal. Sebab kita berkumpul untuk memperingati Isra’ Mi’raj atau Maulid Nabi atau untuk memperingati peristiwa apapun dalam Islam, penetapan satu hari untuk diperingati bukanlah satu hal yang harus dirisaukan. Kalau hari tersebut pada hakikatnya tepat dan sesuai dengan peristiwa itu maka kita bersyukur, Alhamdulillah. Namun jika hari itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, maka Allah tidak akan menolak atau menyia-nyiakan amal baik kita dan tidak akan menutup pintu rahmatnya dari kita. Minimal peristiwa tersebut sebagai media kita untuk mengumpulkan kaum muslimin.
    Kesempatan berkumpul yang digunakan untuk berdoa menghadap Allah, mendekatkan diri untuk meraih kebaikan dan barokah, itulah faidah terbesar dari peringatan-peringatan tersebut. Begitupun menggunakan kesempatan tersebut untuk saling mengingatkan, menyampaikan nasihat, dan menyampaikan pengarahan yang baik. Bukan malah melarang, mencegah, mengingkari, dan mengajak orang lain agar menghindari dan tidak menghadiri yang justru tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah dengan itu, mereka justru menghalangi orang lain mendatangi tempat kebaikan dan majlis atau bahkan masjid untuk berbuat kebaikan disana.
    Sibuk mengingkari, atau menolak dan melarang perkumpulan semacam ini merupakan hal yang sia-sia, bahkan merupakan suatu kebodohan karena berarti menghilangkan budaya mulia, dan menyia-nyiakan kesempatan mengumpulkan orang untuk berbuat baik yang semakin langka ditemukan di masa sekarang kecuali di acara-acara semacam ini.
    Mari kita raih kebaikan yang agung dan nyata dengan menghadiri, mengadakan serta memperbanyak majlis-majlis dan perkumpulan semacam ini. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallim. Wallahu a’lam.

    more
  • Ensiklopedia Fiqh Ibadah Judul: Asy Syamsu Al Muniroh
    Penulis: Al Habib Ali Bin Hasan Baharun
    Penerbit: Pondok Pesantren Darul Lughah Wad Da’wah
    Tebal: 2 Jilid (424 hal. dan 380 hal.)
    Peresensi: Muhammad Syarwani

    Ensiklopedia Fiqh Ibadah

    Sebagai makhluk yang diberi karakteristik kemampuan menalar oleh Allah ta’ala, manusia memiliki insting religiulitas dari dalam dirinya yang di dapat dari hasil tafakkur terhadap fenomena-fenomena alam di sekitarnya. Kesadaran ini dapat meluap-luap dan menuntut ruang ekspresi dalam alam realitas. Namun, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan konsep ibadah mana yang akan diterima dan dikehendaki Allah ta’ala. Menentukan cara beribadah merupakan hak prerogratif yang hanya dimiliki Allah semata dan manusia tidak diberi ruang untuk melakukan intervensi. Atas dasar faktor-faktor inilah, beberapa bentuk ibadah yang tidak pernah diajarkan (ghoiru masyru’) adalah batil menurut persfektif fiqh. Dari sinilah Allah ta’ala mengutus beberapa utusan kepada manusia (baca: Nabi) untuk menjelaskan konsep-konsep beribadah tersebut. Melalui lisan para utusan itulah, dengan dibarengi kitab suci merupakan landasan normatif yang menjadi sandaran syariat yang digariskan oleh Allah ta’ala. Landasan normatif tersebut kemudian melalui proses penyederhanaan melalui ijtihad para ulama yang memiliki kapasitas sebagai pewaris tugas kenabian sehingga mudah untuk difahami dan dipraktekkan oleh manusia. Hasil Ijtihad tersebut kemudian dikodifikasi dalam kitab-kitab mereka yang kita kenal dengan istilah kutubul fiqh.
    Sebagai produk ijtihadi yang mengatur tindak tanduk manusia, fiqh selalu berkembang secara dinamis dan fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman. Antara kitab fiqh yang satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai dengan kapasitas dan latarbelakang penulisnya. Terkadang masalah yang dianggap urgen oleh penulis yang satu diabaikan oleh penulis yang lain. Bertolak dari hal inilah, penting kiranya muncul satu kitab yang mengkolaborasikan berbagai kitab tersebut, baik klasik maupun kontemporer secara selektif sebagai resume dan komparasi dari berbagai kitab fiqh tersebut. Diantara kitab yang menjawab kebutuhan tersebut adalah Asysyamsul muniroh yang disusun oleh al habib Ali bin Hasan Baharun.
    kitab ini mendapat apresiasi dan sanjungan dari Al ‘Allamah Al Habib Zein bin Ibrohim bin smith dan Al ‘Allamah Al habib Salim bin Abdullah Asy Syatiri sebagai kitab yang mengumpulkan banyak masalah fiqh yang sangat urgen. Sebagai kitab yang bermula dari catatan kecil penulis, kitab ini memiliki kelebihan dengan menyimpan faidah-faidah fiqh urgen yang sering kita butuhkan dalam kasus sederhana sehari-hari yang acap kali terjadi, selain itu penulis juga langsung mencantumkan referensi dari setiap masalah yang disebutkan sehingga memudahkan bagi yang membacanya untuk melakukan kajian yang lebih lanjut. Kitab ini bermula dari sebuah catatan kecil penulis ketika sedang meniti studinya di Rubat Al Jufri Madinah. Sudah menjadi kebisaan di Rubat Madinah, pengajian yang di sampaikan oleh para masyayikh tidak hanya terfokus pada harokat dan ma’na ibaroh kitab seperti kebanyakan pesantren di Indonesia. Lebih dari itu, materi yang disampaikan merupakan resume dari berbagai kitab klasik yang dipilih secara selektif sebagai bentuk komentar dan komparasi dari kitab yang sedang dikaji. Selanjutnya para santri melakukan penelitian lebih lanjut tentang dari mana materi-materi tersebut berasal (referensi).
    Pada dasarnya, penyusun tidak banyak memuat pandangan pribadi beliau dalam kitab ini. sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kitab yang selesai pada hari Arofah tahun 1423 H ini tak lain merupakan kompilasi ibaroh fiqh. Tak heran, jika mayoritas hukum yang ditampilkan hanya mereferensi khazanah cendekiawan muslim, baik klasik maupun kontemporer. Berbagai pandangan tersebut kemudian diformulasikan dalam berbagai sub kajian (bab). Sistematika kajiannya pun telah menggunakan susunan modern. Ketika pertama kali membaca kitab ini, mungkin akan terlintas di benak kita bahwa kitab ini tak ubahnya ensiklopedia kecil yang hanya menerapkan konsep copas (copy paste) dalam penyusunannya, namun Jika kita mengkaji secara komprehensif isi kitab ini, kita akan dibuat kagum dengan ketelatenan penyusunnya dalam menyeleksi berbagai ibaroh fiqh dari berbagai Kitab. Sebab jika kita amati baik-baik, ibaroh –ibaroh yang ditampilkan merupakan ibaroh-ibaroh pilihan yang merupakan keunikan tersendiri yang tidak terdapat dalam kitab lainnya. Dalam beberapa masalah beliau juga memberikan catatan-catatan penting berupa penjelasan dari kata dan istilah yang kurang begitu dimengerti (ghorib), beliau juga memberikan sedikit komentar sebagai tambahan dari beberapa ibaroh yang dirasa perlu dalam bentuk footnote. Disamping itu, beliau juga meringkas beberapa ibaroh yang terlalu panjang dengan tetap menjaga esensi dan maksud dari ibaroh tersebut agar untuk menjaga efektifitas kajian.
    Dari sisi pembahasan, kitab ini mirip dengan kitab Safinatun Naja yang membatasi kajian dalam lingkup permasalahan ubudiyyah (ceremony ritual). Masalah yang dibahas terbatas pada masalah Thoharoh (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (transaksi), munakahah (pernikahan) dan jinayat (hukum pidana) tidak dibahas dalam kitab ini. Hal ini melahirkan tantangan baru yang cukup menarik, sebab tidak mudah untuk membuat takmilah (sekuel) dari kitab ini mengingat kekayaan dan sistematika kitab tersebut yang sulit untuk dibuat bandingannya.
    Sayangnya dalam kitab ini aura kontekstual-kontemporer kurang begitu terasa, berbeda dengan kitab-kitab fiqh modern yang lebih berorientasi pada permasalah-permasalah aktual semisal Syarh Yaqutun Nafis, kitab ini kurang banyak membahas masalah-masalah baru tersebut. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa melakukan kontekstualisasi terhadap kitab-kitab fiqh klasik dapat melakukan kajian mendalam terhadap kitab ini. Sebab meskipun tidak disebutkan secara eksplisit (mantuqul ‘ibaroh), namun pemahaman mendalam dan komprehensif terhadap kitab ini berikut referensinya akan sangat memudahkan untuk melakukan kontekstualisasi yang disebutkan secara implisit (mafhumul ‘ibaroh).
    Menjawab kebutuhan masyarakat khususnya kaum santri terhadap fiqh, Kitab ini sangat cocok untuk dikaji, terutama bagi yang ingin memahami dengan baik masalah-masalah ubudiyyah. Dengan bahasa dan susunan yang mudah dimengerti, serta permasalahan fiqh yang terkandung di dalamnya yang merupakan hasil seleksi dari berbagai kitab fiqh, akan sangat membantu dalam menemukan hukum yang berkenaan dengan ibadah sehari-hari. Ditambah lagi referensi yang langsung dicantumkan akan mempermudah kita untuk melakukan kajian lebih lanjut, khusus bagi yang terbiasa mengikuti Bahsul Masail akan sangat terbantu dengan hadirnya kitab ini. Selain itu, metodologi penyusunan dalam kitab ini sangat tepat untuk dikaji dan diadopsi untuk membuat takmilah yang membahas problematika fiqh lainnya yang belum disebutkan di kitab ini, Mengingat urgensi ensiklopedia fiqh dalam gerakan pemikiran teori hukum islam yang mutlaq dibutuhkan.

    more
  • Merasionalkan Aqidah Sifat Dua Puluh by Muhammad Idrus Ramli
    Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma' al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
    Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam menetapkan konsep sifat 20 tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang wajib bagi Allah, antara lain:
    Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari setiap orang yang beriman.
    Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:
    وَقَوْلُهُ J: « إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
    Sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama", tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi J hanya bermaksud –wallahu a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal. 14).
    Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:
    عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاَءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
    Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku." (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Thabarani dan al-Hakim).
    Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika Allah SWT bersifat baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat kebalikannya, yaitu fana'. Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama juga mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).
    Dari sini dapat kita memahami, kekeliruan pernyataan Nurcholis Madjid beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk saat ini sifat Rahmah Allah mestinya lebih layak ditekankan untuk diketahui dari pada yang lain. Karena pernyataan ini berangkat dari ketidakpahaman Nurcholis terhadap konsep Shifat al-Dzat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah (syarat ketuhanan) dan Shifat al-Af'al yang bukan Syarth al-Uluhiyyah.
    Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan dalil 'aqli.
    Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah (kelompok yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk), Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri). Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain. Wallahu a'lam.

    more
  • Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Solusi ‘Pusat Studi Islam’ yang Representatif Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur yang hingga hari ini masih survive di tengah kecendrungan kuat sistem pendidikan formal. Dengan kultur dan kesederhanaan yang mandiri serta dekat dengan masyarakat, dalam usianya yang hampir dua abad, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang terus melakukan pengembangan dan perubahan seiring dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan dan prinsip-prinsip aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
    Tahun 1852 M, areal di sebelah utara kota Jombang tepatnya dusun Gedang kelurahan Tambakrejo masih berupa hutan belantara yang tak berpenghuni. Sampai akhirnya datang seorang ulama bernama Abdus Salam, beliau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Shoichah, dengan membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya.
    Menurut silsilah, beliau masih keturunan Raja Brawijaya (salah satu raja di Kerajaan Majapahit) dan merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Selama kurang lebih 13 tahun beliau bergelut dengan semak belukar dan kemudian menjadikan desa ini sebagai perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah beliau membuat gubuk tempat beliau berdakwah. Yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana.
    Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Pondok Selawe (selawe: bhs. Jawa yang berarti Dua Puluh Lima) dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang. Disebut juga dengan Pondok Telu karena bidang atau materi keilmuan yang dikaji meliputi tiga ilmu. Yaitu Syari’at, Hakikat dan Kanuragan. Dari sisi lain dinamakan Pondok Telu karena jumlah bangunannya terdiri dari 3 lokal. Seiring berjalannya waktu pesantren ini semakin berkembang dan terus memberikan kesegaran suasana dan inovasi pendidikan berupa berbagai macam instansi pendidikan baik formal maupun non formal serta menjadi pusat pendidikan di kota Jombang.
    Secara geografis, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang terletak di dusun Tambak Beras, desa Tambakrejo, Kabupaten Jombang, provinsi Jawa Timur. Tepatnya 3 KM sebelah utara kota Jombang. Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang secara keseluruhan menempati areal tanah 10 Ha. dengan sosio-kultur religius agraris.
    Sejarah panjang pondok pesantren ini, sejak awal rintisannya oleh kyai Shoichah, dikenal dengan nama Pondok selawe atau Pondok Telu. Lalu pada masa Kyai Hasbulloh pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas. Hingga akhirnya pada masa Kyai Abdul Wahab Hasbulloh, pada tahun 1965, empat orang santri beliau dipanggil menghadap (sowan). Ke empat santri beliau tersebut adalah Ahmad Junaidi (bangil), M. Masrur Dimyati (Mojokerto), Abdulloh Yazid Sulaiman ( Jombang ), dan Moh. Syamsul Huda ( Jombang ). Keempat santri ini ditugasi mengajukan alternatif nama pondok pesantren. Walhasil keempat santri ini mengajukan 3 nama alternatif yaitu, Bahrul Ulum, Darul Hikmah, dan Mamba’ul Ulum. Dari ketiga nama yang diajukan, Kyai Abdul Wahab memilih nama Bahrul Ulum yang berarti “Lautan Ilmu” yang kelak diharapkan Tambakberas benar-benar menjadi lautan ilmu.
    Sistem Pendidikan
    Pendidikan (kegiatan belajar mengajar) di Pondok Pesantren Bahrul Ulum dilaksanakan melalui dua jalur yaitu : Pendidikan formal dan pendidikan non formal (pendidikan di pesantren/diniyyah). Secara structural, unit pendidikan formal di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, dimana unit-unit pendidikan formal bertanggung jawab untuk menjalankan segala kebijakan yang telah ditetapkan bersama oleh pengurus yayasan. Pendidikan formal adalah kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan secara klasikal di sekolah / madrasah dengan menggunakan kurikulum tertentu (kurikulum DEPAG dan kurikulum DIKNAS ) dipadukan dengan kurikulum pesantren.
    Hingga saat ini terdapat 18 unit pendidikan formal mulai dari jenjang Pra sekolah sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendidikan Formal Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum memiliki delapan belas lembaga yang meliputi : Play Group, TK Bahrul Ulum, MI Bahrul Ulum, MI Program Khusus, MTs Bahrul Ulum, MTs.N Tambakberas, SMP Bahrul Ulum, SMA Bahrul Ulum, SMK Bahrul Ulum, MA Bahrul Ulum, MA AL-I’Dadiyyah, MAWH Bahrul Ulum, MMA Bahrul Ulum, MAN Tambakberas, SMKTI Bahrul Ulum, STAI Bahrul Ulum, STMIK Bahrul Ulum dan STIKES Bahrul Ulum.
    Selain pendidikan formal di sekolah / madrasah , Pondok Pesantren Bahrul Ulum juga memiliki sisterm pendidikan non formal pada masing-masing unit asrama pondok pesantren. Pendidikan non formal ini pelaksanaannya ditangani langsung oleh pengasuh masing-masing asrama pondok pesantren atau orang yang telah mendapat mandat dari pengasuh (biasanya santri senior). Ada dua sistem pendidikan ini yaitu : Pendidikan Diniyyah dengan sistem klasikal dengan kurikulum yang telah ditetapkan, dan pengajian kitab-kitab kuning oleh pengasuh. Seperti layaknya pesantren salaf di Jawa, dalam pengajian kitab kuning ini menggunakan dua metode yaitu metode weton dan sorogan. Metode weton adalah pengasuh membacakan kitab dan menerangkannya sementara santri mendengarkan, memahami dan memaknai kitabnya masing-masing. Sedangkan metode Sorogan adalah santri yang membaca kitab dan menjelaskannya di hadapan pengasuh untuk diuji. Pengajian kitab oleh pengasuh asrama dilaksanakan tiap-tiap selesai sholat wajib di ndalem, musholla atau di masjid. Dan kitab yang dibaca masing-masing pengasuh sangat variatif.
    Pengasuh dan Tenaga Pengajar Pesantren
    Pondok Pesantren Bahrul Ulum sejak awal berdirinya pada tahun 1825 telah berkembang pesat dan menjadi salah satu Pusat Studi Islam yang representatif di negeri ini. Kolaborasi antara manajemen klasik dan modern dalam sistem manajemen pesantren ini mampu melahirkan produk-produk yang handal bahkan tidak jarang menjadi tokoh terkemuka, semisal KH. Abdurrahman Wahid yang pernah menjabat sebagai Presiden RI. Hal ini tentunya bukan karena faktor kebetulan, tetapi karena Pondok Pesantren Bahrul Ulum selalu mengembangkan desain kreativitas dan inovasi sistem pendidikannya dengan dukungan tenaga pengajar yang berkualitas.
    Sampai saat ini telah tersedia tidak kurang dari 500 orang tenaga pengajar unit pendidikan formal dengan dikawal ketat oleh 76 pengasuh yang mendampingi selama 24 jam. Kesemuannya mempunyai kemampuan dan kapabilitas yang tinggi sesuai dengan bidangnya. Sebagian besar adalah lulusan perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri. Namun demikian, komitmen, wawasan dan kompetensi mereka terus dikembangkan secara sistematis dan konsisten dari waktu ke waktu, baik dengan cara inservice training ataupun outservice training, secara formal, non formal ataupun informal. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan solusi yang efektif bagi perkembangan Pondok Pesantren Bahrul Ulum sesuai dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global.
    Pondok Pesantren ini juga memberi wadah bagi para alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, maka dibentuklah suatu organisasi yang bernama Ikatan Keluarga Alumni Bahrul Ulum (IKABU ), Organisasi ini memiliki beberapa fungsi di antaranya: menjadi kekuatan penggerak silaturrahim dan ukhuwah diantara alumni beserta keluarga dengan keluarga Pondok Pesantren Bahrul Ulum dan meningkatkan peran serta alumni terhadap pengembangan pondok pesantren.(Syarwani & Usamah)

    more
  • Ma'haduna edisi Jumada Tsaniyah 1432 Hijriyah ‘Silaturahmi bersama Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia’
    Selasa,15 Maret 2011 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah menyelenggarakan sebuah acara bertajuk ‘Silaturahmi bersama Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia’. Acara yang dihadiri Menko Perekonomian Bpk.Ir.H Hatta Radjasa dan Menteri Kehutanan Bpk. Zulkifli Hasan, SE, MM itu turut diramaikan dengan kehadiran Wakil Gubernur Jawa Timur Bpk. Drs.H.Saifullah Yusuf dan sejumlah pengasuh ponpes. Mereka adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri KH.Nawawie Abdul Jalil, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan KH. Idris Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang KH Ihya Ulumuddin, Ketua Umum Front Pembela Islam Pasuruan Al-Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf serta beberapa pejabat kabupaten Pasuruan. Dalam kesempatan ini kedua menteri tersebut menyatakan turut mendukung pengembangan studi ekonomi islam dan pembangunan wisma serta swalayan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah. Bpk Ir.H.Hatta Radjasa memaparkan perkembangan perekonomian Indonesia pada tahun ini mengalami peningkatan drastis. Tingkat kemiskinan turun dari 10% menjadi 7,3%. Acara di tutup dengan penyerahan 1000 bibit pohon secara simbolis sebagai upaya penghijauan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah.
    Mutiara Baydo’ Al-Habib Abdurrahman bin Toha Al-Habsyi
    31 Maret 2011
    Untuk yang sekian kali Ponpes DALWA kedatanganan mutiara-mutiara ilmu dari timur tengah. Kali ini giliran Al-Habib Abdurrahman bin Toha Al-Habsyi yang mengunjungi Ponpes DALWA. Beliau adalah alumni pertama Universitas Al-Ahgaf Yaman yang mendapat prestasi terbaik dan mengabdi di almamaternya saat ini. Beliau memanfaatkan momentum dakwah ini untuk bersilaturahmi dengan pengasuh , sekaligus berziaroh ke makam muassis ma’had Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Kesibukan beliau sebagai seorang dosen serta pengelola madrasah peninggalan Al-Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi,yang tidak lain adalah kakeknya sendiri, tidak menyurutkan semangat beliau untuk berdakwah ke Indonesia. Dalam taujihadnya di depan para santri, cucu Shahibul Risalah Jamiah ini tidak lupa memberikan motivasi agar santri terus tekun dalam menimba ilmu. Poin penting yang juga di sampaikan beliau adalah menjaga hati dari Su’dzon, Ta’dzim kepada Syekh dan mengamalkan ilmu yang telah di terima. Semoga kunjungan ini menambah keberkahan bagi kita semua. Amiiin…
    Seminar Sehari dalam rangka Membendung Upaya Pendeskreditan Lembaga Pendidikan Islam
    Rabu,l 09 Maret 2011 Badan Eksekutif Mahasiswa bekerja sama dengan Direktur Pasca sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Darullughah Wadda’wah menggelar acara seminar dengan tema ‘Menggagas Pendidikan Ideal Dalam Menghadapi Tantangan Global’. Hadir sebagai pembicara, Dr.Adian Husaini MA dan Dr.Nirwan Syafrin Arma MA dari International Institute Of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), IIUM Kuala Lumpur. Kedua doktor bidang Pemikiran Islam ini memaparkan pentingnya menggagas pendidikan ideal di zaman modern ini, agar tidak terkontaminasi dengan pengaruh negatif arus globalisasi. Khususnya pondok pesantren, harus mempunyai andil besar untuk menghadapi tantangan ini. Acara diikuti oleh Sejumlah Dosen dan Mahasiswa STAI DALWA.

    more

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos