Advertisement

  • tau'iyah Telah menjadi bagian dari budaya kita, dan budaya masyarakat kita untuk berkumpul dalam satu majlis untuk menghidupkan dan meperingati kembali peristiwa besar dalam sejarah Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Malam Nisfu Sya’ban, Peristiwa Hijrah Rasul dan Malam Nuzulul Qur’an. budaya semacam ini sangatlah penting dan besar maknanya, namun sangat disayangkan bahwa sebagian kalangan dari kaum muslimin, semoga Allah memberi mereka petunjuk, mempermasalahkan akurasi penanggalan yang dijadikan hari yang diperingati tiap tahunnya. Satu contoh, mereka mempermasalahkan penanggalan kelahiran nabi yang dalam penentuannya masih didapati khilaf di antara ulama, dan berpikir bahwa hal tersebut akan mengurangi nilai peringatan maulid. Bagaimana mungkin kaum muslimin berkumpul pada malam 27 Rajab untuk memperingati Isra’ Mi’raj, dan berkumpul di malam 12 Rabi’ul Awwal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, padahal para ulama masih berselisih pendapat mengenai kepastian kapan terjadinya dua peristiwa tersebut. Bagaimana jika ternyata Nabi Muhammad pada hakikatnya tidak lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal seperti yang selama ini diyakini oleh kebanyakan? Bukankan itu akan menjadi cela dan kesalahan yang fatal. Pernyataan seperti ini seringkali menjadi argumen mereka untuk menyalahkan apa yang selama ini dilakukan oleh mayoritas umat Islam.
    Perlu diketahui bahwa penetapan satu hari tertentu untuk diperingati, seperti 12 Rabi’ul Awwal untuk hari kelahiran Nabi Muhammad, atau 27 Rajab untuk memperingati Isra’ Mi’raj, bukan merupakan substansi atau tujuan utama dari perkumpulan-perkumpulan tersebut. Tidak menjadi masalah meskipun dalam penetapan tanggal tersebut masih terdapat khilaf, masih ada pendapat lain dari ulama, dan belum menjadi mufakat. Karena yang menjadi tujuan utama dari diadakannya majlis di hari tersebut adalah usaha untuk mengumpulkan umat Islam, lalu mengingatkan mereka akan persitiwa penting dalam Islam dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Di malam-malam tersebut umat Islam berkumpul dalam jumlah besar, memperingati bermacam peristiwa bersejarah dalam Islam dengan berdzikir, mengingat Allah, dan membaca shalawat karena cinta kepada Rasulullah. Berkumpulnya mereka untuk berdzikir dan bershalawat itu saja sudah cukup untuk mendapatkan rahmat Allah dan kemurahannya.
    Kita berkeyakinan dengan sangat yakin, bahwa selama berkumpulnya mereka itu dilakukan untuk Allah, lillah, maka pasti akan diterima di sisi Allah dan mendapat imbalan pahala dariNya. Amalan mereka akan diterima meskipun ternyata mereka salah dalam penentuan atau penetapan tanggal. Sebab kita berkumpul untuk memperingati Isra’ Mi’raj atau Maulid Nabi atau untuk memperingati peristiwa apapun dalam Islam, penetapan satu hari untuk diperingati bukanlah satu hal yang harus dirisaukan. Kalau hari tersebut pada hakikatnya tepat dan sesuai dengan peristiwa itu maka kita bersyukur, Alhamdulillah. Namun jika hari itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, maka Allah tidak akan menolak atau menyia-nyiakan amal baik kita dan tidak akan menutup pintu rahmatnya dari kita. Minimal peristiwa tersebut sebagai media kita untuk mengumpulkan kaum muslimin.
    Kesempatan berkumpul yang digunakan untuk berdoa menghadap Allah, mendekatkan diri untuk meraih kebaikan dan barokah, itulah faidah terbesar dari peringatan-peringatan tersebut. Begitupun menggunakan kesempatan tersebut untuk saling mengingatkan, menyampaikan nasihat, dan menyampaikan pengarahan yang baik. Bukan malah melarang, mencegah, mengingkari, dan mengajak orang lain agar menghindari dan tidak menghadiri yang justru tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah dengan itu, mereka justru menghalangi orang lain mendatangi tempat kebaikan dan majlis atau bahkan masjid untuk berbuat kebaikan disana.
    Sibuk mengingkari, atau menolak dan melarang perkumpulan semacam ini merupakan hal yang sia-sia, bahkan merupakan suatu kebodohan karena berarti menghilangkan budaya mulia, dan menyia-nyiakan kesempatan mengumpulkan orang untuk berbuat baik yang semakin langka ditemukan di masa sekarang kecuali di acara-acara semacam ini.
    Mari kita raih kebaikan yang agung dan nyata dengan menghadiri, mengadakan serta memperbanyak majlis-majlis dan perkumpulan semacam ini. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallim. Wallahu a’lam.

    more
  • Ensiklopedia Fiqh Ibadah Judul: Asy Syamsu Al Muniroh
    Penulis: Al Habib Ali Bin Hasan Baharun
    Penerbit: Pondok Pesantren Darul Lughah Wad Da’wah
    Tebal: 2 Jilid (424 hal. dan 380 hal.)
    Peresensi: Muhammad Syarwani

    Ensiklopedia Fiqh Ibadah

    Sebagai makhluk yang diberi karakteristik kemampuan menalar oleh Allah ta’ala, manusia memiliki insting religiulitas dari dalam dirinya yang di dapat dari hasil tafakkur terhadap fenomena-fenomena alam di sekitarnya. Kesadaran ini dapat meluap-luap dan menuntut ruang ekspresi dalam alam realitas. Namun, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan konsep ibadah mana yang akan diterima dan dikehendaki Allah ta’ala. Menentukan cara beribadah merupakan hak prerogratif yang hanya dimiliki Allah semata dan manusia tidak diberi ruang untuk melakukan intervensi. Atas dasar faktor-faktor inilah, beberapa bentuk ibadah yang tidak pernah diajarkan (ghoiru masyru’) adalah batil menurut persfektif fiqh. Dari sinilah Allah ta’ala mengutus beberapa utusan kepada manusia (baca: Nabi) untuk menjelaskan konsep-konsep beribadah tersebut. Melalui lisan para utusan itulah, dengan dibarengi kitab suci merupakan landasan normatif yang menjadi sandaran syariat yang digariskan oleh Allah ta’ala. Landasan normatif tersebut kemudian melalui proses penyederhanaan melalui ijtihad para ulama yang memiliki kapasitas sebagai pewaris tugas kenabian sehingga mudah untuk difahami dan dipraktekkan oleh manusia. Hasil Ijtihad tersebut kemudian dikodifikasi dalam kitab-kitab mereka yang kita kenal dengan istilah kutubul fiqh.
    Sebagai produk ijtihadi yang mengatur tindak tanduk manusia, fiqh selalu berkembang secara dinamis dan fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman. Antara kitab fiqh yang satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sesuai dengan kapasitas dan latarbelakang penulisnya. Terkadang masalah yang dianggap urgen oleh penulis yang satu diabaikan oleh penulis yang lain. Bertolak dari hal inilah, penting kiranya muncul satu kitab yang mengkolaborasikan berbagai kitab tersebut, baik klasik maupun kontemporer secara selektif sebagai resume dan komparasi dari berbagai kitab fiqh tersebut. Diantara kitab yang menjawab kebutuhan tersebut adalah Asysyamsul muniroh yang disusun oleh al habib Ali bin Hasan Baharun.
    kitab ini mendapat apresiasi dan sanjungan dari Al ‘Allamah Al Habib Zein bin Ibrohim bin smith dan Al ‘Allamah Al habib Salim bin Abdullah Asy Syatiri sebagai kitab yang mengumpulkan banyak masalah fiqh yang sangat urgen. Sebagai kitab yang bermula dari catatan kecil penulis, kitab ini memiliki kelebihan dengan menyimpan faidah-faidah fiqh urgen yang sering kita butuhkan dalam kasus sederhana sehari-hari yang acap kali terjadi, selain itu penulis juga langsung mencantumkan referensi dari setiap masalah yang disebutkan sehingga memudahkan bagi yang membacanya untuk melakukan kajian yang lebih lanjut. Kitab ini bermula dari sebuah catatan kecil penulis ketika sedang meniti studinya di Rubat Al Jufri Madinah. Sudah menjadi kebisaan di Rubat Madinah, pengajian yang di sampaikan oleh para masyayikh tidak hanya terfokus pada harokat dan ma’na ibaroh kitab seperti kebanyakan pesantren di Indonesia. Lebih dari itu, materi yang disampaikan merupakan resume dari berbagai kitab klasik yang dipilih secara selektif sebagai bentuk komentar dan komparasi dari kitab yang sedang dikaji. Selanjutnya para santri melakukan penelitian lebih lanjut tentang dari mana materi-materi tersebut berasal (referensi).
    Pada dasarnya, penyusun tidak banyak memuat pandangan pribadi beliau dalam kitab ini. sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kitab yang selesai pada hari Arofah tahun 1423 H ini tak lain merupakan kompilasi ibaroh fiqh. Tak heran, jika mayoritas hukum yang ditampilkan hanya mereferensi khazanah cendekiawan muslim, baik klasik maupun kontemporer. Berbagai pandangan tersebut kemudian diformulasikan dalam berbagai sub kajian (bab). Sistematika kajiannya pun telah menggunakan susunan modern. Ketika pertama kali membaca kitab ini, mungkin akan terlintas di benak kita bahwa kitab ini tak ubahnya ensiklopedia kecil yang hanya menerapkan konsep copas (copy paste) dalam penyusunannya, namun Jika kita mengkaji secara komprehensif isi kitab ini, kita akan dibuat kagum dengan ketelatenan penyusunnya dalam menyeleksi berbagai ibaroh fiqh dari berbagai Kitab. Sebab jika kita amati baik-baik, ibaroh –ibaroh yang ditampilkan merupakan ibaroh-ibaroh pilihan yang merupakan keunikan tersendiri yang tidak terdapat dalam kitab lainnya. Dalam beberapa masalah beliau juga memberikan catatan-catatan penting berupa penjelasan dari kata dan istilah yang kurang begitu dimengerti (ghorib), beliau juga memberikan sedikit komentar sebagai tambahan dari beberapa ibaroh yang dirasa perlu dalam bentuk footnote. Disamping itu, beliau juga meringkas beberapa ibaroh yang terlalu panjang dengan tetap menjaga esensi dan maksud dari ibaroh tersebut agar untuk menjaga efektifitas kajian.
    Dari sisi pembahasan, kitab ini mirip dengan kitab Safinatun Naja yang membatasi kajian dalam lingkup permasalahan ubudiyyah (ceremony ritual). Masalah yang dibahas terbatas pada masalah Thoharoh (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (transaksi), munakahah (pernikahan) dan jinayat (hukum pidana) tidak dibahas dalam kitab ini. Hal ini melahirkan tantangan baru yang cukup menarik, sebab tidak mudah untuk membuat takmilah (sekuel) dari kitab ini mengingat kekayaan dan sistematika kitab tersebut yang sulit untuk dibuat bandingannya.
    Sayangnya dalam kitab ini aura kontekstual-kontemporer kurang begitu terasa, berbeda dengan kitab-kitab fiqh modern yang lebih berorientasi pada permasalah-permasalah aktual semisal Syarh Yaqutun Nafis, kitab ini kurang banyak membahas masalah-masalah baru tersebut. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa melakukan kontekstualisasi terhadap kitab-kitab fiqh klasik dapat melakukan kajian mendalam terhadap kitab ini. Sebab meskipun tidak disebutkan secara eksplisit (mantuqul ‘ibaroh), namun pemahaman mendalam dan komprehensif terhadap kitab ini berikut referensinya akan sangat memudahkan untuk melakukan kontekstualisasi yang disebutkan secara implisit (mafhumul ‘ibaroh).
    Menjawab kebutuhan masyarakat khususnya kaum santri terhadap fiqh, Kitab ini sangat cocok untuk dikaji, terutama bagi yang ingin memahami dengan baik masalah-masalah ubudiyyah. Dengan bahasa dan susunan yang mudah dimengerti, serta permasalahan fiqh yang terkandung di dalamnya yang merupakan hasil seleksi dari berbagai kitab fiqh, akan sangat membantu dalam menemukan hukum yang berkenaan dengan ibadah sehari-hari. Ditambah lagi referensi yang langsung dicantumkan akan mempermudah kita untuk melakukan kajian lebih lanjut, khusus bagi yang terbiasa mengikuti Bahsul Masail akan sangat terbantu dengan hadirnya kitab ini. Selain itu, metodologi penyusunan dalam kitab ini sangat tepat untuk dikaji dan diadopsi untuk membuat takmilah yang membahas problematika fiqh lainnya yang belum disebutkan di kitab ini, Mengingat urgensi ensiklopedia fiqh dalam gerakan pemikiran teori hukum islam yang mutlaq dibutuhkan.

    more
  • Merasionalkan Aqidah Sifat Dua Puluh by Muhammad Idrus Ramli
    Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma' al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
    Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam menetapkan konsep sifat 20 tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang wajib bagi Allah, antara lain:
    Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari setiap orang yang beriman.
    Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:
    وَقَوْلُهُ J: « إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
    Sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama", tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi J hanya bermaksud –wallahu a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal. 14).
    Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:
    عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاَءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
    Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku." (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Thabarani dan al-Hakim).
    Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika Allah SWT bersifat baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat kebalikannya, yaitu fana'. Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama juga mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).
    Dari sini dapat kita memahami, kekeliruan pernyataan Nurcholis Madjid beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk saat ini sifat Rahmah Allah mestinya lebih layak ditekankan untuk diketahui dari pada yang lain. Karena pernyataan ini berangkat dari ketidakpahaman Nurcholis terhadap konsep Shifat al-Dzat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah (syarat ketuhanan) dan Shifat al-Af'al yang bukan Syarth al-Uluhiyyah.
    Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan dalil 'aqli.
    Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah (kelompok yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk), Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri). Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain. Wallahu a'lam.

    more
  • Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Solusi ‘Pusat Studi Islam’ yang Representatif Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang merupakan salah satu pondok pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur yang hingga hari ini masih survive di tengah kecendrungan kuat sistem pendidikan formal. Dengan kultur dan kesederhanaan yang mandiri serta dekat dengan masyarakat, dalam usianya yang hampir dua abad, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang terus melakukan pengembangan dan perubahan seiring dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan dan prinsip-prinsip aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
    Tahun 1852 M, areal di sebelah utara kota Jombang tepatnya dusun Gedang kelurahan Tambakrejo masih berupa hutan belantara yang tak berpenghuni. Sampai akhirnya datang seorang ulama bernama Abdus Salam, beliau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Shoichah, dengan membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya.
    Menurut silsilah, beliau masih keturunan Raja Brawijaya (salah satu raja di Kerajaan Majapahit) dan merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Selama kurang lebih 13 tahun beliau bergelut dengan semak belukar dan kemudian menjadikan desa ini sebagai perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah beliau membuat gubuk tempat beliau berdakwah. Yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana.
    Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Pondok Selawe (selawe: bhs. Jawa yang berarti Dua Puluh Lima) dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang. Disebut juga dengan Pondok Telu karena bidang atau materi keilmuan yang dikaji meliputi tiga ilmu. Yaitu Syari’at, Hakikat dan Kanuragan. Dari sisi lain dinamakan Pondok Telu karena jumlah bangunannya terdiri dari 3 lokal. Seiring berjalannya waktu pesantren ini semakin berkembang dan terus memberikan kesegaran suasana dan inovasi pendidikan berupa berbagai macam instansi pendidikan baik formal maupun non formal serta menjadi pusat pendidikan di kota Jombang.
    Secara geografis, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang terletak di dusun Tambak Beras, desa Tambakrejo, Kabupaten Jombang, provinsi Jawa Timur. Tepatnya 3 KM sebelah utara kota Jombang. Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang secara keseluruhan menempati areal tanah 10 Ha. dengan sosio-kultur religius agraris.
    Sejarah panjang pondok pesantren ini, sejak awal rintisannya oleh kyai Shoichah, dikenal dengan nama Pondok selawe atau Pondok Telu. Lalu pada masa Kyai Hasbulloh pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas. Hingga akhirnya pada masa Kyai Abdul Wahab Hasbulloh, pada tahun 1965, empat orang santri beliau dipanggil menghadap (sowan). Ke empat santri beliau tersebut adalah Ahmad Junaidi (bangil), M. Masrur Dimyati (Mojokerto), Abdulloh Yazid Sulaiman ( Jombang ), dan Moh. Syamsul Huda ( Jombang ). Keempat santri ini ditugasi mengajukan alternatif nama pondok pesantren. Walhasil keempat santri ini mengajukan 3 nama alternatif yaitu, Bahrul Ulum, Darul Hikmah, dan Mamba’ul Ulum. Dari ketiga nama yang diajukan, Kyai Abdul Wahab memilih nama Bahrul Ulum yang berarti “Lautan Ilmu” yang kelak diharapkan Tambakberas benar-benar menjadi lautan ilmu.
    Sistem Pendidikan
    Pendidikan (kegiatan belajar mengajar) di Pondok Pesantren Bahrul Ulum dilaksanakan melalui dua jalur yaitu : Pendidikan formal dan pendidikan non formal (pendidikan di pesantren/diniyyah). Secara structural, unit pendidikan formal di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, dimana unit-unit pendidikan formal bertanggung jawab untuk menjalankan segala kebijakan yang telah ditetapkan bersama oleh pengurus yayasan. Pendidikan formal adalah kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan secara klasikal di sekolah / madrasah dengan menggunakan kurikulum tertentu (kurikulum DEPAG dan kurikulum DIKNAS ) dipadukan dengan kurikulum pesantren.
    Hingga saat ini terdapat 18 unit pendidikan formal mulai dari jenjang Pra sekolah sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendidikan Formal Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum memiliki delapan belas lembaga yang meliputi : Play Group, TK Bahrul Ulum, MI Bahrul Ulum, MI Program Khusus, MTs Bahrul Ulum, MTs.N Tambakberas, SMP Bahrul Ulum, SMA Bahrul Ulum, SMK Bahrul Ulum, MA Bahrul Ulum, MA AL-I’Dadiyyah, MAWH Bahrul Ulum, MMA Bahrul Ulum, MAN Tambakberas, SMKTI Bahrul Ulum, STAI Bahrul Ulum, STMIK Bahrul Ulum dan STIKES Bahrul Ulum.
    Selain pendidikan formal di sekolah / madrasah , Pondok Pesantren Bahrul Ulum juga memiliki sisterm pendidikan non formal pada masing-masing unit asrama pondok pesantren. Pendidikan non formal ini pelaksanaannya ditangani langsung oleh pengasuh masing-masing asrama pondok pesantren atau orang yang telah mendapat mandat dari pengasuh (biasanya santri senior). Ada dua sistem pendidikan ini yaitu : Pendidikan Diniyyah dengan sistem klasikal dengan kurikulum yang telah ditetapkan, dan pengajian kitab-kitab kuning oleh pengasuh. Seperti layaknya pesantren salaf di Jawa, dalam pengajian kitab kuning ini menggunakan dua metode yaitu metode weton dan sorogan. Metode weton adalah pengasuh membacakan kitab dan menerangkannya sementara santri mendengarkan, memahami dan memaknai kitabnya masing-masing. Sedangkan metode Sorogan adalah santri yang membaca kitab dan menjelaskannya di hadapan pengasuh untuk diuji. Pengajian kitab oleh pengasuh asrama dilaksanakan tiap-tiap selesai sholat wajib di ndalem, musholla atau di masjid. Dan kitab yang dibaca masing-masing pengasuh sangat variatif.
    Pengasuh dan Tenaga Pengajar Pesantren
    Pondok Pesantren Bahrul Ulum sejak awal berdirinya pada tahun 1825 telah berkembang pesat dan menjadi salah satu Pusat Studi Islam yang representatif di negeri ini. Kolaborasi antara manajemen klasik dan modern dalam sistem manajemen pesantren ini mampu melahirkan produk-produk yang handal bahkan tidak jarang menjadi tokoh terkemuka, semisal KH. Abdurrahman Wahid yang pernah menjabat sebagai Presiden RI. Hal ini tentunya bukan karena faktor kebetulan, tetapi karena Pondok Pesantren Bahrul Ulum selalu mengembangkan desain kreativitas dan inovasi sistem pendidikannya dengan dukungan tenaga pengajar yang berkualitas.
    Sampai saat ini telah tersedia tidak kurang dari 500 orang tenaga pengajar unit pendidikan formal dengan dikawal ketat oleh 76 pengasuh yang mendampingi selama 24 jam. Kesemuannya mempunyai kemampuan dan kapabilitas yang tinggi sesuai dengan bidangnya. Sebagian besar adalah lulusan perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri. Namun demikian, komitmen, wawasan dan kompetensi mereka terus dikembangkan secara sistematis dan konsisten dari waktu ke waktu, baik dengan cara inservice training ataupun outservice training, secara formal, non formal ataupun informal. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan solusi yang efektif bagi perkembangan Pondok Pesantren Bahrul Ulum sesuai dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global.
    Pondok Pesantren ini juga memberi wadah bagi para alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, maka dibentuklah suatu organisasi yang bernama Ikatan Keluarga Alumni Bahrul Ulum (IKABU ), Organisasi ini memiliki beberapa fungsi di antaranya: menjadi kekuatan penggerak silaturrahim dan ukhuwah diantara alumni beserta keluarga dengan keluarga Pondok Pesantren Bahrul Ulum dan meningkatkan peran serta alumni terhadap pengembangan pondok pesantren.(Syarwani & Usamah)

    more
  • Ma'haduna edisi Jumada Tsaniyah 1432 Hijriyah ‘Silaturahmi bersama Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia’
    Selasa,15 Maret 2011 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah menyelenggarakan sebuah acara bertajuk ‘Silaturahmi bersama Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia’. Acara yang dihadiri Menko Perekonomian Bpk.Ir.H Hatta Radjasa dan Menteri Kehutanan Bpk. Zulkifli Hasan, SE, MM itu turut diramaikan dengan kehadiran Wakil Gubernur Jawa Timur Bpk. Drs.H.Saifullah Yusuf dan sejumlah pengasuh ponpes. Mereka adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri KH.Nawawie Abdul Jalil, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan KH. Idris Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang KH Ihya Ulumuddin, Ketua Umum Front Pembela Islam Pasuruan Al-Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf serta beberapa pejabat kabupaten Pasuruan. Dalam kesempatan ini kedua menteri tersebut menyatakan turut mendukung pengembangan studi ekonomi islam dan pembangunan wisma serta swalayan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah. Bpk Ir.H.Hatta Radjasa memaparkan perkembangan perekonomian Indonesia pada tahun ini mengalami peningkatan drastis. Tingkat kemiskinan turun dari 10% menjadi 7,3%. Acara di tutup dengan penyerahan 1000 bibit pohon secara simbolis sebagai upaya penghijauan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah.
    Mutiara Baydo’ Al-Habib Abdurrahman bin Toha Al-Habsyi
    31 Maret 2011
    Untuk yang sekian kali Ponpes DALWA kedatanganan mutiara-mutiara ilmu dari timur tengah. Kali ini giliran Al-Habib Abdurrahman bin Toha Al-Habsyi yang mengunjungi Ponpes DALWA. Beliau adalah alumni pertama Universitas Al-Ahgaf Yaman yang mendapat prestasi terbaik dan mengabdi di almamaternya saat ini. Beliau memanfaatkan momentum dakwah ini untuk bersilaturahmi dengan pengasuh , sekaligus berziaroh ke makam muassis ma’had Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Kesibukan beliau sebagai seorang dosen serta pengelola madrasah peninggalan Al-Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi,yang tidak lain adalah kakeknya sendiri, tidak menyurutkan semangat beliau untuk berdakwah ke Indonesia. Dalam taujihadnya di depan para santri, cucu Shahibul Risalah Jamiah ini tidak lupa memberikan motivasi agar santri terus tekun dalam menimba ilmu. Poin penting yang juga di sampaikan beliau adalah menjaga hati dari Su’dzon, Ta’dzim kepada Syekh dan mengamalkan ilmu yang telah di terima. Semoga kunjungan ini menambah keberkahan bagi kita semua. Amiiin…
    Seminar Sehari dalam rangka Membendung Upaya Pendeskreditan Lembaga Pendidikan Islam
    Rabu,l 09 Maret 2011 Badan Eksekutif Mahasiswa bekerja sama dengan Direktur Pasca sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Darullughah Wadda’wah menggelar acara seminar dengan tema ‘Menggagas Pendidikan Ideal Dalam Menghadapi Tantangan Global’. Hadir sebagai pembicara, Dr.Adian Husaini MA dan Dr.Nirwan Syafrin Arma MA dari International Institute Of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), IIUM Kuala Lumpur. Kedua doktor bidang Pemikiran Islam ini memaparkan pentingnya menggagas pendidikan ideal di zaman modern ini, agar tidak terkontaminasi dengan pengaruh negatif arus globalisasi. Khususnya pondok pesantren, harus mempunyai andil besar untuk menghadapi tantangan ini. Acara diikuti oleh Sejumlah Dosen dan Mahasiswa STAI DALWA.

    more
  • PERTEMPURAN FUNDAMENTALISME ISLAM, REPRESENTASI REVOLUSI TIMUR TENGAH? Dahulu orang berkata, “islam adalah agama terbaik dengan penganut terburuk.” Sesudah Salman Rusydie, banyak yang berkata, “ Islam adalah agama terburuk dengan para pengannut terburuk pula.” Tentu saja kita tidak akan menemukan bukti yang lebih baik tentang kelumpuhan intlektual para pengikut Mahammad sekarang ini selain kegagalan mereka dalam memberikan respons yang memadai terhadap tantangan-tantangan modernitas sekuler. Umat islam modern, sebagai sekelompok masyarakat, secara memalukan tidak merenungkan tantangan-tantangan modernitas sekuler tersebut, seakan-akan mereka berpikir bahwa Allah telah memikirkan segala-galanya untuk hamba-hambaNya. Meskipun islam tidak kekurangan para apologis (pembela agama) atau teoritikus agama, secara bersama-sama mereka telah gagal memberikan respons yang bernash (berisi) dan mendasar terhadap modernitas. Karena tidak adanya pengaruh-pengaruh liberalisme dan skeptisisme, yang dapat ditelusuri dari tiadanya tradisi filsafat, maka sedikit muslim yang mengakui ancaman-ancaman sekularisme dan pluralisme ideologi yang dibawanya. Banyak penulis Muslim lebih suka berpura-pura menganggap modernitas sebagai tantangan untuk keyakinan orang Kristen saja, yakni hanyalah sebuah ancaman lokal bagi sebuah agama yang lemah yang telah takluk pada kebudayaan materialistis yang agresif.
    Pernyataan diatas adalah sebuah gagasan yang dituangkan Shabbir Akhtar dalam bukunya “Islam and Western Modernity” pada tahun 1990 di Bradford. Dalam bukunya tersebut dia berlatar belakang sebagai seorang serjana imparsial (tidak berpihak) yang tidak mengkritik islam dengan cara yang tidak simpatik sebagaiman yang dilakukan oleh para pemikir Kristen dan Marxis; mereka berpendapat bahwa pada dasarnya Islam adalah agama palsu dengan potensi politik yang berbahaya, tidak pula membela Islam secara mutlak sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan apologis muslim.
    Namun pada kenyataannya, tidak ada sesuatu pun yang dapat melebihi kebenaran. Dalam rangka mendapatkan kebenaran warisan Muhammad SAW demi kepentingan zaman modern ini, kaum Muslim harus mengakui dan menjawab tantangan-tantangan sekularitas dan pluralisme ideologi. Permulaan abad ke -15 Hijriah menjadi tanda berakhirnya zaman kepolosan (age of innocent) mereka. Lalu, dapatkah umat Muslim melalui kritikus-kritikus modernnya memperlihatkan bahwa Islam memenuhi pengabdiannya sebagai sebuah agama untuk semua zaman?
    Sebuah pertanyaan besar yang mesti dijawab umat Muslim jika tidak ingin “Kelumpuhan Intelektual” disandarkan kepada para pengikut Muhammad SAW sepanjang masa. Meskipun untuk menjawab itu semua, tidak jarang terjadi konflik di antara umat Muslim yang benar-benar menginginkan perubahan real tercipta di bumi Islam. Umat Muslim harus berusaha membuktikan keotentikan dan loyalitas agama Islam sehingga diterima oleh kalangan kawan maupun lawan. Penganut kepercayaan ortodoks baik di luar atau di dalam sekte Islam mesti menaruh simpati besar terhadap keberhasilan Islam dengan segala kebijakannya yang dapat diterima oleh semua kalangan. Adapun deskriminasi antara golongan dalam sekte-sekte Islam hanya sekedar deskriminasi saja tanpa menyusutkan semangat dalam mempertahankan islam di hadapan lawan. Atau inilah yang disebut Perbedaan dan Kemajmukan Dalam Bingkai Persatuan.
    Ternyata benar, semangat dalam mempertahankan Islam inilah yang membuat perpecahan intern umat Islam tidak bisa terhindarkan. Umat Islam mesti mengakui pentingnya metodologi dalam menyusun aksi. Mulai dari yang kecil sampai latihan menghadapi perang. Tak jarang jika kepentingan sekte yang dipertahankan, maka akan memancing sekte berikutnya untuk bertindak. Yang demikian adalah bukan hal yang asing lagi terjadi. Sudah sepantasnya investigasi dilakukan agar korban tidak terus berjatuhan.
    KONFLIK DI TIMUR TENGAH
    Selama dekade berlakunya sanksi ekonomi, pusat-pusat kekuatan menjadi lemah. Fundamentalisme dan salafisme yang diasosiasikan dengan perlawanan, tumbuh dan mengakar di Irak. Karya pemikir Irak dalam pengasingan, Muhammad Ahmad Arrasyid, tentang jihad dan negara Islam diselundupkan dari Mesir. Memperoleh tempat dan menjadi gurita dalam menyebarkan kecenderungan fundamentalis dan salafis, di seluruh wilayah dan mulai merasuk ke seluruh negeri.
    Persaudaraan Muslim, dengan kehadiran yang kuat di Yordania dan Syiria serta berafiliasi dengan pemerintahan Wahhabi di Arab Saudi. Memproklamirkan keberadaannya di wilayah Sunni, di bagian barat Irak yang berbatasan dengan Syiria dan Yordania, dan sekarang memperkuat Partai Islam Irak.
    Para penggerak ekstrimis memiliki suatu keuntungan untuk bergerak masuk ke Timur Tengah. Mereka mengalami kemunduran dan menjadi lebih moderat pada tubuh persaudaraan Muslim. Kegiatan mereka mendahului perang Irak, tidak hanya memperkenalkan pemikiran fundamentalis. Namun juga menciptkan jejaring organisasi yang akan memfasilitasi perlawanan mereka setelah perang .
    Pada tahun 1999, penguasa memutuskan untuk menganut sistem politik terbuka. Dengan keinginan mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika berhadapan dengan kerusuhan, sang penguasa menyelenggarakan pemilihan umum untuk memberikan suara bagi penduduk negaranya dalam pemerintahan. Apa yang ada dalam benaknya bukanlah demokrasi, namun sebuah parlemen dari orang-orang terkemuka yang akan mengizinkannya untuk melakuakan kontrol atas masyarakat dengan mengkooptasi pemimpin mereka. Sebagian warga negara memboikot pemilihan umum, seperti Partai Keagamaan dan Front Revolusi Islam. Meraka menuntut keterbukaan yang sesungguhnya pada sistem politik. Tidak senang dengan terbatasnya akses terhadap penguasa, dan makin menonjolnya kehadiran ajaran Islam yang bertolak belakang dengan yang dianut rakyat. Semakin radikal pula elemen-elemen di tubuh Partai Keagamaan dan Front Revolusi Islam memulai agitasinya. Pemboikotan menjdikan pihak minoritas menguasai dua puluh tujuh dari lima puluh kursi di parlemen, hal ini benar-benar makin memperburuk situasi
    Potret kegentingan juga memanas di Bahrain. Ketika perang teluk kedua dimulai, Bahrain resah. Kaum muda, para penganggur yang kecewa, tampak seperti pemuda yang berada di kota Sadr. Apa yang kurang di Bahrain adalah, tidak adanya pemimpin seperti Muqtada Al-Sadr. Ketika sebuah surat kabar lokal memuat kartun yang tidak menyenangkan tentang pemimpin mereka, massa turun ke jalanan di Ibukota, Manama, sambil meneriakkan” Labbaik” (kami menjawab panggilanmua). Kaum muda Bahrain tidak suka mengikuti kepemimpinan tradisioanal yang lebih tua, dan kurang berkenan dalam memperhatikan panggilannya akan ketenangan dan kesabaran. Semangat revolusioner mulai memberikan tempat bagi tumbuhnya harapan untuk demokrasi.
    KONSEKUENSI FUNDAMENTALISME ISLAM
    “tidakkah engkau melihat bagaimana Tuhanmu memperbuat dengan tentara bergajah?
    Tidakkah dia menjadikan tipu daya mereka sia-sia
    Tidakkah dia mengirimkan kepada mereka burung berbondong-bondong
    Menghujankan batu-batu yang terbungkus api,
    Membuat mereka seperti daun yang dimakan ulat”
    (Q.S. Al Fil )
    Tidak ada satupun yang mengatakan bahwa, fundamentalisme sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari revolusi. Salah satunya adalah yang mengajarkan tentang bagaimana berorgnisasi dan mengelola massa dalam sebuah gerakan sosial. Gerakan revolusi ini tampak di Negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia, Turki, dan Lebanon, jauh melihat Islam dengan kepentingan yang dapat diperbaharui. Bagaimanapun, Islam telah berhasil, sementara ideologi tidak. Islam sendiri sebagai sebuah idelogi telah membuktikan dirinya dapat bertahan samapi sekarang ini. Akan tetapi penghormatan atas apa yang terjadi, tidak sama dengan apa yang diterima oleh para pemimpin. Aktivis islam dengan cepat menghakimi bahwa, para pejuang revolusi sangat arogan, menyendiri, dan mabuk atas keberhasilannya sendiri.
    Fundamentalisme islam di dunia Arab jauh dari kegiatan politik revolusioner. Ini berakar pada dorongan keagamaan konservatif yang mencampurkan kepentingan perdagangan dengan nilai-nilai agama. Tujuannya adalah seperti dikatakan oleh seorang ahli islam kontemporer asal Perancis, Gilles Kepel, bahwa lebih sedikit merubah sistem yang ada daripada memberikan kesegaran baru.
    Beberapa fundamentalis terbuka untuk perubahan, tetapi sebagian besar tidak. Juga tidak bagi para pendukung maupun kelompok yang sangat mengharapkan adanya revolusi sosial, yang dapat menyalurkan sebagian kekayaan kepada fakir miskin. Lebih lanjut, para fundamentalis bisa belajar dari keberhasilan para penguasa yang juga mengambil keuntungan dari kesalahan-kesalahan yang diperbolehkan muncul di antara nilai-nilai Islam pihak oposisi dan ketegasan rezimnya terhadap sekularisme. Di negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia, pemerintahannya telah mulai menikmati legitimasi islam yang patut diperhitungkan. Selain itu, seperti di Indonesia dan Mesir, pejabat-pejabat dengan cepat bergerak mendorong rezim untuk memperoleh dukungan keagamaan. Ketika dimana-mana membicarakan fundamentalisme islam, jurang pemisah antara fundamentalisme sebagai revivalisme dan fundamentalisme sebagai revolusi sungguh sangat dalam. Bahkan beberapa waktu dekat, sektarian yang terbagi dalam kalangan muslim tradisional lebih memusatkan perhatiannya pada keberagaman yang konservatif. Menurut sebagian pihak mungkin ini akan berimplikasi pada kehancuran persaudaraan Muslim. Kendatipun demikian, mampukah konsekuensi ini memberikan representasi revolusi di Timur Tengah?
    Mari kita mengkaji sejarah………………!
    Pada tahun 1974, perjuangan terhadap tujuan islam telah menjadikan Arab Saudi semakin besar mencapai keseluruhan muslim dunia. Mulai dari pembuat opini sampai para aktivis pemimpin politik, pemimpin agama, dan lembaga-lembaga pendidikan. Terkadang sampai pada tingkat masjid-masjid kecil di desa maupun di kota. Inventasi pada kepentingan Islam memberi alat kepada kerajaan baik untuk menahan perlawanan, maupun untuk menutupi luas dunia Muslim dengan pengaruhnya .
    Pada tahun 1980, setelah Irak-Iran berperang, Arab Saudi menunjukkan keberpihakannya dengan berada di belakang Saddam, membiayai perang hingga puluhan milyar dollar. Ini memang sebuah perang Arab-Iran, namun juga perang antara Sunni-Syiah. Jika di Irak itu merupakan dukungan Saudi secara militer yang bisa saja menghentikan Khomeine, di tempat lain Arab Saudi juga memiliki sumber daya untuk membatasi penyebaran pesan-pesan Khomeine. Karena antara Arab Saudi dengan Khomeine terdapat latar belakang pemikiran yang berbeda. Wallahu A’lam

    more
  • Aliran Darah Rosululloh ‘……..Karena di dalam tubuh mereka mengalir darah Nabi SAW…..’
    Matahari tersenyum menyaksikan putri anak adam yang sedang merintih menerima efek dari biasan panasnya.Setelah mengusap sedikit keringat yang tercucur dari kening dengan tisu, gadis itu merapikan lagi jilbab hitam yang membalut wajah putih berhias bola mata bulat nan indah lengkap dengan hidung mancungnya. Meski gerah ia mencoba tegar dan menyesuaikan diri untuk kembali terlihat segar.
    “Ya Allah, jika tidak karena tugas ana nggak akan mau keluar rumah dengan cucua sepanas ini” gadis berdarah arab itu ngomel sendiri, paling tidak sedikit mengekspresikan kekesalannya saat ini. Seharusnya ia membeli buku referensi untuk tugas kuliahnya itu dua atau tiga hari yang lalu. Tapi memang waktu kurang mendukung dan aktifitas sehari-harinya juga tidak mengijinkan, jadilah siang ini ia harus menanggung konsekuesensinya untuk mencari referensi sekaligus menyusun tugas makalah karena malam ini ia harus selesai dan mempresentasekannya di hadapan dosen yang tergolong KILLER besok pagi. Untungnya dia telah membuat kerangka makalah tersebut di dalam katalok otaknya jadi hanya perlu mengedit dan menarikan jari-jariny di atas di atas notebook kesayangannya.
    “Jam segini pasti jarang ada taksi lewat,mana sudah dhuhur lagi, nanggung banget!” Gadis berjilbab itu memutar balik tubuhnya, tak lagi menatap jalan raya, di hadapannya sebuah ruko yang tadi ia keluar dari salah satu pintunya. ‘Kedai Sastra’ ruko bertingkat dengan cat keseluruhan hitam pekat. Lantai dasar adalah sebuah kedai dengan suasana yang di sulap menjadi sangat santai dan nyaman. Masih dengan interior serba hitam yang di dindingnya terpajang beberapa foto jumbo tokoh-tokoh terkenal lokal dan internasional seperti chairil anwar, Albert einstin dan Hasan Al-Banna. Tertata rapi sebuah toko buku di tingkat atas yang terlihat megah dan tidak kalah lengkapnya dengan Gramedia.Kelebihannya, di situ juga tersedia buku-buku bekas berkuwalitas dengan harga super miring.
    “Kelamaan nunggu taksi, lebih baik shalat duhur terus garap tugas di café sambil menikmati carabian nut! Yups….! Selalu ada ide cemerlang di otak yang brilian! Bismillah!” Sarah melangkah membawa semangat dan senyumnya, ia sudah mulai tertarik pada tempat ini, selain harganya terjangkau suasananya juga nyaman. Sarah memasuki pintu utama lantai dasar, seorang waiter menyambut dengan ceria.
    “Selamat siang mbak,Silakan!”
    “Terima kasih mbak, maaf mushollanya di mana ya?” tanpa membuang waktu sarah menanyakan perihal musolla untuk melaksanakan shalat duhur agar setelahnya ia bisa mengerjakan tugas dengan tenang.
    “Oh Musholla, ada di pojok sebelah kiri mbak! Silakan!”
    “Terima kasih !”
    # # #
    “Sawa’ yik, ana sudah cari ke mana-mana tapi nggak ketemu. Ana dengar dia sudah pindah ke Jl.Martadinata no 18 tapi ketika ana ke sana rumah itu kosong, katanya sudah di kosongkan selama dua bulan lebih”Arif menyeruput lagi secngkir kopi jahe zanzabil.
    “Kemana dia ya? Padahal ana besok sudah harus kembali ke Jakarta!” Seorang pemuda berhidung mancung di hadapan Arif terlihat bingung mengerutkan dahinya mencari salah satu teman lama memang sulit.
    “Afwan ya”
    “Ya, kheir! Ana yang minta maaf sudah merepotkan antum!”
    “Ah, nggak bib,antum sama sekali tidak merepotkan! Justru ana senang sudah bisa membantu”
    “Ya sudah, Syukron ya! di atas ada toko bukunya ya? ke atas yuk, ada buku baru dan sepertnya harus ana beli”
    Arif mengangguk, keduanya beranjak setelah sama-sama menyeruput cangkir mereka masing-masing.Kedua sahabat itu sudah lama sekali tidak bertemu tapi dulu di pesantren mereka akrab sekali, bahkan makanpun mereka lahab berama dalam satu nampan. Sungguh kebersamaan yang mungkin hanya dapat di temui di pesantren. Mereka berjalan menuju daun pintu setelah membayar makanan di kasir.
    “Arif? Assalamualikum…” Seorang gadis berpapasan dengan mereka dan menyapa Arif.
    “Waalaikumsalam, sarah? Lagi ngapain ?” Arif menjawab salamnya dan masih belum percaya dengan seseorang yang berdiri di hadapannya.
    “Lagi nyari buku buat tugas besok, bagaimana tugasmu? Sudah selesai?” sarah menundukkan pandangan setelah menatap seseorang di samping Arif.
    “Alhamdulillah sudah kelar, tugasmu bagaimana?” Tanya Arif
    Sambil tersenyum sarah menjawab “Baru mau ana mulai,Ya sudah ana masuk dulu ya! Assalamualaikum….”
    “Waalaikumsalam” Jawab Arif dan diya temannya hampir bersamaan.
    # # #
    Tempat yang paling di senangi oleh orang yang cinta ilmu adalah perpustakaan dan toko buku. Diya salah satunya, Ia menghabiskan satu jam lebih dalam toko buku tentunya tidak hanya sekedar melihat atau membaca buku-buku di dalamnya tetapi juga memborong berbagai jenis buku seperti buku agama dan motifasi. Arif hanya bisa menggelengkan kepala melihat teman lamanya yang sedang asyik dengan hobi yang sejak dulu di gelutinya, mengoleksi buku. Di tepi jalan depan ruko Arif dan diya menunggu taksi, ternyata jarak dua meter di samping kiri Arif terlihat sarah sedang asyik dengan menggenggam ponsel di telinganya tanpa menyadari lalu lalang kendaran yang sedikit sepi tapi membahaykan karena mobil motor itu melaju begitu kencang. Entahlah apa yang di kerjakan sarah di sana mungkin ia sedang menghubungi jemputannya.
    Sebuah truck melaju kencang jalannya aneh, sedikit menepi tapi masih dalam kecepatan yang tidak wajar. Arif menyadari truck itu seakan ingin memangsa sarah. Truck itu semakin dekat, Arif bergegas lari menerjang sarah dan….
    “Tidak………!!!”
    # # #
    Arif mendapati dirinya dalam keadaan pusing yang sangat berat membebaninya, baru dua jam ia siuman setelah tidak sadarkan diri sehari semalam. Rumah sakit adalah tempat yang paling ia benci, tetapi kali ini ia berbaring di salah satu ruangan yang di atas pintunya tertuliskan UGD.
    “Tidak! Jangan biarkan sarah mendonorkan darahnya untukku!” Arif makin panik ketika mendengar nama orang yang mendonorkan darah untuknya dari Diya.
    “Arif, dia berkorban untukmu. Stok darah AB di beberapa rumah sakit di kota ini sudah habis.ini darurat! hanya dia yang bergolongan darah sama denganmu. Kamu mengalami pendarahan yang cukup parah” Diya memahamkan Arif.
    “Tidak, sekali lagi tidak!” Arif tetap bersikeras, dia mencoba mengangkat suara padahal kondisinya keritis.
    “Kamu jangan terlalu fanatik dengan kami!”
    “Tidak bib, kalian memang berhak untuk itu! Ana tidak pernh bertemu Rosullulloh, tetapi ana bersyukur sekali dapat bertemu dan mengenal para cucunya!”
    “tidak Arif, terimalah donoran darahnya demi kelangsungan hidupmu”
    “Tidak bib, tubuh in terlalu hina untuk itu! Tidak mungkin setes darah Rosululloh mengalir di tubuhku. Apalagi sarah adalah seorang syarifah dan aku bukan mahromnya. Tidak mungkin aku menyakiti dan berhutang budi dengannya” Diya terdiam mendengar penjelasan Arif yang terbaring lemah.
    “Tidak Arif, biarkan tetesan darah mulia Rosululloh mengalir di tubuhmu, biarkan darah yang telah ku donorkan itu menjadi saksi dan penawar tubuhmu dari neraka, kamu telah memuliakan keturunannya! Kamilah yang berhak berbuat baik terhadap sesama” Sarah berdiri di depan pintu, tidak ada yang menduga ternyata ia telah mendengar semuanya.
    # # #

    more
  • EFEK POSITIF AL QUR’AN dalam PERSPEKTIF ILMUWAN “Dan apabila dibacakan al-Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. al A’raf : 204)

    Al-Qur’an memiliki banyak aspek keistimewaan dan kemukjizatan, Salah satunya adalah aspek psikologis. al-Qur’an diyakini sebagai satu-satunya kitab suci yang memiliki energy daya gubah dan gubah yang sangat luar biasa, serta sejenis pengaruh yang dapat melemahkan dan menguatkan jiwa seseorang. Peristiwa masuk Islamnya sayyidina Umar bin Khattab ra setelah membaca lembaran ayat-ayat al-Qur’an menjadi bukti kemukjizatan al-Qur’an secara psikologis ini.
    Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (Q.S. Al-Anfaal : 2)
    Selain fakta historis di atas, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh DR. Ahmad al-Qadhi tentang pengaruh ayat-ayat al-Qur’an terhadap kondisi psikologis dan fisologis manusia. Ia membuktikan bahwa al-Qur’an mampu menciptakan ketenangan batin (psikologi) dan mereduksi ketegangan-ketegangan saraf (fisiologis).
    Penelitian ini dilakukan terhadap lima sukarelawan non-muslim yang berusia antara 17-40 tahun dengan menggunakan alat ukur stress jenis MEDAQ 2002 (Medical Data Quetient) yang dilengkapi dengan software dan system detector elektronik hasil pengembangan Pusat Kedokteran Universitas Boston Amerika Serikat.
    Sebelum penelitian dimulai, setiap responden dipasangi empat jarum elektrik di tubuh masing-masing yang dikoneksikan ke mesin pengukur berbasis komputer. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik dan mengukur reaksi urat saraf reflektif pada masing-masing organ tubuh responden.
    Pada uji coba pertama, kelima responden diperdengarkan 85 ayat kali ayat-ayat al-Qur’an secara mujawwad (tanpa lagu). Pada percobaan kedua, mereka diperdengarkan 85 kali kalimat-kalimat berbahasa arab biasa (bukan al-Qur’an) secara mujawwad. Pada percobaan ketiga 40 kali responden dibiarkan duduk membisu tanpa diperdengarkan apa-apa sambil menutup mata. Hasilnya, 65% responden yang mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an mendapat ketenangan batin dan ketegangan syarafnya turun hingga 97%.
    Selain berpengaruh pada orang dewasa, al-Qur’an juga memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam seminar Konseling dan Pesikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang diperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an dari tape recorder kepadanya, menunjukan respon tersenyum dan menjadi lebih tenang.
    Disamping sebagai potret jiwa dan raga, al-Qur’an juga berfungsi sebagai obat/terapi psikologis. Efek penyembuhan dengan memperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an atau meminta pasien untuk membacanya terbukti sangat luar biasa.
    Al-Hafidz Abu Bakar Ibn Sunni menyampaikan sebuah riwayat dari Abdurrahman Ibn Abi Laila disebutkan, pernah seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah saw. dan berkata: ”saudaraku sedang sakit wahai Rasulullah”. Nabi bertanya: “sakit apa saudaramu?” “sejenis penyakit hilang ingatan (gila)”, jawab laki-laki tersebut. lalu Rasul berkata: “bawalah Ia kepadaku” setelah si pasien dihadapkan kepada Rasul, lalu beliau memberikan terapi dengan memperdengarkan ayat-ayat al-Qur,an dari surah al-Fatihah, al-Baqarah ayat 2-5, 163-164, 225, 384-286, Ali Imran ayat 2 & 18, al-A’raf ayat 54, al-Mu’minun ayat 116, al-Jin ayat 3, al-Hasyr ayat 22-24, al-Ikhlas ayat 1-4, al-Falaq ayat 1-5, an-Nas ayat 1-6, setelah beberapa kali diterapi, si pasien sembuh dan normal kembali.
    Efek positif al-Qur’an secara psikolgis hanya akan berpengaruh pada orang yang benar-benar mampu bersahabat akrab dengannya. Bentuk keakraban dengan al-Quran tersebut bisa dengan membaca, menghayati dan mengamalkannya dengan penuh keyakinan, disiplin dan kontinyu (istiqomah).
    Membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya melalui tafsir dan takwil dengan bimbingan seorang ustadz akan menghasilkan pencegahan, perlindungan dan penyembuhan dari banyak penyakit psikologis. Segala penyebab gangguan psikologis dan terganggunya eksistensi kejiwaan akan lenyap dengan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
    Ketika seseorang mampu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, berarti ia telah memiliki kepribadian Qur’ani. Kepribadian semacam ini diperoleh ketika seseorang telah berrhasil mentransformasikan isi kandungan al-Qur’an ke dalam dirinya, untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Proses transformasi dan internalisasi tersebt harus tercermin dalam semua dimensi nilai-nilai al-Qur’an yaitu dimensi I’tiqodiyah (keimanan), Khuluqiyah (etika) dan Amaliayah (perilaku).
    Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki al-Quran. Selain menjadi sebuah ibadah dalam membacanya, bacaanya juga memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, maka bacaan al-quran lebih dari itu karena selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan al-quran juga mempengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
    Oleh karena itu, marilah kita membudayakan gemar baca al-Qur’an dalam diri kita, keluarga, teman dan masyarakat di sekitar kita karena sungguh merupakan sebuah kerugian yang besar jika kita hanya menjadikan mushaf al-Qur’an sebagai koleksi dan hiasan rumah saja, tanpa pernah dijamah dan dibaca. Semoga Allah swt. Menanamkan kecintaan membaca mempelajari al-Qur’an dalam diri kita, keluarga kita, teman kita dan seluruh umat muslimin, Amin.

    more
  • Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Sosok Tawadhu’ yang Muttafaq ‘Alaih Kyai Hamid Pasuruan, begitulah beliau lebih dikenal, memang telah lama wafat hampir tiga dasawarsa yang lalu. Namun kemasyhuran beliau sebagai seorang wali dengan berbagai cerita karomahnya membuat pesarean pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah ini masih ramai menjadi tujuan ziarah dari pelosok Nusantara
    Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
    Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
    Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
    Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
    Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
    Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
    Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
    Tidak Suka Dipuja
    Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, beliau dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah. Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
    Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan pengantin pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2 siang. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
    Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
    Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
    Prihatin
    Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
    Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
    Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day, karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem. (Baca: Dunia Pesantren, Al-Bashiroh Vol. 6 Edisi 1, “Salafiyah, Tradisi Salaf Bercorak Modern”)
    Fenomenal
    Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya kurang terbiasa akan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah, pengasuh pesantren sebelumnya.
    Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
    Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

    Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
    Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
    Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndempis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
    Riyadhah dan Mujahadah
    Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
    Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, di tahun 1982 ketika Abuya As-Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu jauh lebih muda usia.
    Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
    Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
    Bagaimanapun beliau juga manusia yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah sempat roboh beberapa hari sebelumnya dan dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
    Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu.

    more
  • القراءة أهم الوسائل للإستزادة من المعارف إن المشاهد اليوم من تطورة كبيرة في العالم سواء، ما يتجلى أمام الأعين من المخترعات الإلكتونية و ثورة التكنولوجيا أو العمران الفاخر من المبانى العالية الرشيقة وناطحات السحاب الشامخة الأنيقة التي لونت أغلب مناظر المدن فى مختلف الدول و غير ذلك من مناظر عصرنا الحديث دليل على أن ثقافة الإنسان خصوصا فيما تتعلق بالمعارف والعلوم التطبيقية تكون على نمو وارتقاء دائم
    ومن البديهى أن هذه الحقيقة لا توجد بدون سابق محاولة من الإنسان بالإضافة إلى طول العناء بداية من مرحلة التنظير والتفكير ونهاية إلى مرحلة التطبيق والتدبير سعيا لتحقيق الغاية ولكن سبقت كل هذه المراحل مرحلة مهمة جدا والتي تعد أساسا يعتمد عليه كل باحث و مخترع الا وهي القراءة فالقراءة إذن هي التي اكتشفت ما كان فى خبايا صفحات الكتب فقامت نظاريات علمية عديدة التي تصير حقيقة من حقائق التطور فيما بعد.
    من هنا نفهم مدى أهمية القراءة فى حياة الإنسان وهو من أجل أن يستزيد العلوم و يزود نفسه بالمعارف دوما وينتقل من دنايا الجهل إلى الحياة المثالية التي تزخر بالثراء العلمى المعرفي من باب الإستفادة الشخصية مقدما وإفادة للأجيال القادمة ثانيا.


    المعارف :wawasan/pengetahuan
    يتجلى :terbukti
    المخترعات :penemuan-penemuan baru
    الرشيقة :bagus/indah
    ناطحات السحاب :Pencakar langit
    ارتقاء دائم :Kemajuan yang berkesinambungan
    الثراء العلمى :kekayaan ilmiyah
    دنية ج دنايا :Rendah
    الأجيال القادمة :Generasi Baru
    المعرفي :Pengetahuan/Epistimologi

    more
  • Pioner Demokrasi Abad Ke VII M Setelah berlalunya era keemasan Islam di bawah kepemimpinan terbaik empat khalifah pertama yang dikenal dengan “Al-Khulafa Ar-Rosyidin”, sejarah Islam mengenal satu khalifah adil yang disejajarkan dengan empat khalifah terbaik. Dia adalah Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Umawiyah
    Khalifah Umar bin Abdul Aziz Al Qurasy Al Umawi merupakan sosok pemimpin yang demokratis dan adil. Dalam dirinya terdapat jiwa kepemimpinan. Bagaimana tidak, beliau adalah salah satu keturunan dari Amirul mu’minin Sayyidina Umar bin Khottob Rodhiaulohu anhu’ seorang sahabat besar Rosululloh SAW sekaligus Kholifah adil yang disegani rakyatnya. Beliau dilahirkan pada tahun 61 H di Madinah namun sebagian pakar sejarah juga menyatakan bahwa kota kelahiran beliau adalah Basroh.
    Salah satu hal yang mungkin menjadi pendukung terbentuknya pribadi istimewa Sy Umar bin Abdul Aziz adalah kejadian yang dialami oleh Khalifah Umar bin Khottob. malam itu, beliau sedang melaksanakan kegiatan rutin ronda malam guna memantau keadaan rakyatnya. Ketika beliau melewati sebuah rumah, beliau mendengar dialog antara seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin dari rumah tersebut.
    “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”kata sang ibu.
    Kemudian sang anak menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti ini ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
    Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”
    Dengan bijak anak itu menjawab dengan jawaban yang begitu menggetarkan hati Sy Umar bin Khottob, bahkan sampai-sampai membuat beliau menangis “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu” jawaban itulah yang menginspirasi beliau untuk mengawinkan gadis tersebut dengan anak beliau yang bernama Ashim.
    Dari perkawinan Ashim bin Umar bin Khottob dengan perempuan inilah lahir Hafsoh binti ashim bin Umar bin Khottob yang tidak lain adalah sang ibu dari Sy Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam.
    Lahirnya beliau sebenarnya telah lama diramalkan oleh Sy Umar bin Khottob. Kala itu beliau pernah berkata “Kelak akan dilahirkan dari keturunanku seorang lelaki yang ada cacat di wajahnya, ia akan memimpin dan memenuhi penjuru bumi ini dengan keadilan”. Benar saja, orang yang memiliki tanda cacat di wajahnya adalah Sy Umar bin Abdul Aziz, luka tersebut disebabkan oleh sepatu kuda yang menimpanya sewaktu beliau kecil. Saat kejadian itulah sang ayah mengusap wajah Sy Umar bin Abdul Aziz seraya berkata “Jika engkau memang orang yang ada tanda cacatnya di kalangan bani Umayah maka engkau adalah orang yang berbahagia”
    Sejak kecil beliau telah menghapal Al-Quran dan berguru sekaligus meriwayatkan hadist dari Anas bin Malik, Saib bin Yazid, Yusuf bin Abdulloh bin Salam, Said bin Musayyib, Azzuhri dan berbagai Sahabat dan Tabiin terkemuka lainnya.
    Pelopor Demokrasi Khilafah Islamiyah
    Sulaiman bin Abdul Malik, Kholifah ketujuh Bani Umayyah adalah sepupu dari Sy Umar bin Abdul Aziz yang dekat dengan Sy Umar bin Abdul Aziz sehingga sang Khalifah tahu betul tentang kepribadian dan kelayakan beliau untuk menjadi pemimpin Islam setelahnya, tidak heran jika beliau memilih Sy Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Sebelum Kholifah Sulaiman wafat, seorang penasehat kerajaan yang bernama Raja’ bin Haiwah berdialog dengan beliau seraya berkata “Wahai Khalifah, di antara perkara yang bisa menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima Syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah; apabila engkau tinggalkan untuk kaum muslimin Khalifah yang adil. Maka siapakah pilihanmu?” Khalifah Sulaiman menjawab dengan yakin “Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang tepat untuk itu”
    Ketika khalifah Sulaiman wafat pada tahun 716 M, setelah shalat jumat Sy Umar bin Abdul Aziz dibai’at. Dengan berat hati karena takut kepada Allah dengan disertai cucuran air mata, beliau bangkit sambil berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada di pundakku dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki” namun kaum muslimin tetap memilih beliau sebagai pemimpin mereka.
    Kholifah Yang Adil dan Zuhud
    Kholifah Sy Umar bin Abdul Aziz memulai kepemimpinannya dengan mengembalikan hak orang-orang yang didzolimi. Beliau juga mengumpulkan sekelompok ulama dan ahli fiqih untuk mengambil pendapat dari mereka “Saya mengumpulkan tuan-tuan ini untuk meminta pendapat mengenai hasil tindak curang yang berada pada keluargaku.” Mereka menjawab “Itu semua terjadi sebelum masa pemerintahanmu. Maka dosanya berada pada yang merampasnya.” Beliau tidak puas dengan jawaban tersebut dan mengambil pendapat lain yang langsung dilontarkan oleh anak beliau sendiri, Abdul Malik “Saya berpendapat, hasil-hasil itu harus dikembalikan kepada yang berhak, selama engkau mengetahuinya. Jika tidak dikembalikan engkau telah menjadi partner mereka yang merampasnya dengan curang”. Jawaban itulah yang membuat hati beliau lega serta beliau langsung bergegas mengembalikan hasil-hasil tindak kecurangan tersebut. Jalannya roda pemerintahan pada masa beliau terkenal dengan keadilannya, bahkan telah menjadikan keadilan sebagai prioritas utama pemerintahan. Beliau ingin semua rakyat mendapat pelayanan yang sama adil tidak memandang ningrat, pangkat, kaya dan miskin agar keadilan dapat diterapkan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangkan mengimbangi keadilan di zaman kakeknya, Khalifah Umar bin Khotob. Bahkan keadilan saat pemerintahan beliau tidak hanya dirasakan oleh masyarakt saja, tetapi domba dan srigalapun damai dan akur pada zaman beliau. Perekonomian saat itu dapat teroganisir dengan baik, para masyarakat juga menjalankan agama dengan taraf ketaqwaan yang tinggi sehingga semua lapisan masyarakat mengeluarkan zakatnya dengan ringan tangan dan penuh keimanan hingga diriwayatkan dari Umar bin Asid, bahwasannya setelah meninggalnya Sy Umar bin Abdul Aziz datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada halayak ramai “Ambillah hartaku ini sebanyak yang kalian inginkan” tetapi tidak ada satupun yang mengambilnya lantaran mereka semua sudah kaya. Sungguh Sy Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan rakyatnya kaya-raya.
    Selain keadilan yang menonjol pada masa kepemerintahan beliau ada hal lain yang sunguh sangat jarang diterapkan oleh para raja dalam sebuah kerajaan yaitu zuhud. Jika kemewahan dan pengawal serta permaisuri yang selalu meliputi para raja-raja, berbeda dengan Kholifah Sy Umar bin Abdul Aziz, beliau tidak membutuhkan pengawal, juga tidak mengendaraai kendaraan mewah. Beliau hanya mengendarai keledainya yang dari dulu selalu menemani beliau dalam perjalanan, begitupula harta benda dan istana, semua beliau tinggalkan begitu saja. Bahkan diriwayatkan pada suatu hari raya putri-putrinya datang kepada beliau “Wahai Ayah, besok hari raya. Kami tidak punya baju baru…”Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada mereka.
    “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang berbaju
    baru, akan tetapi bagi yang takut kepada ancaman Allah”. Mengetahui hal tersebut,
    pengelola baitul mal berusaha menengahi, “Ya Amirul Mukminin, kiranya tidak akan menimbulkan masalah jika untuk baginda diberikan gaji di muka setiap bulan”. Sy Umar bin Abdul Aziz sangat marah mendengar perkataan pengurus Baitulmal. Ia berkata, “Celaka engkau! Apakah kau mengetahui dengan pasti bahwa aku akan hidup hingga esok hari!?”
    Ibn Abd Rabbih di dalam karyanya Al Iqd al Farid menyebutkan adanya korespondensi antara Raja Sriwijaya dengan Kholifah Umar bin Abdul Aziz pada sekitar tahun 100 H (726M), raja Sriwijaya berkirim surat yang isi surat tersebut adalah:
    “Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang isterinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya”
    Sebelum beliau wafat, beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?” Umar Abdul Aziz menjawab "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"
    "Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
    "Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"
    Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga."
    Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kepemimmpinan bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Sy Umar bin Abdul-Aziz. Beliau wafat pada tahun 101 H dengan masa jabatan di dalam pemerintahan selama dua tahun lima bulan.

    more
  • Masail Diniyah Edisi Jumada Tsaniyah 1432 Hijriyah 1. Pertanyaan:
    Assalamualaikum wr. Wb. ustad, sebelumnya saya mnta maaf kalau kurang sopan dlm bertanya, akan tetapi ini adalah amanat saya yang merasa berkewajiban untuk membantu saudara sesama muslim yang ingin bertobat. Dia bukan org yg baru masuk islam, akan tetapi kelalaiannya, berikut permasalahannya; ada seorang tuna susila yang menghampiri saya, dia bercerita bahwa dahulunya dia adalah berprofesi sebagai PSK. Dahulu sebelum ia bertobat, dia setiap hari menjalankan aktivitasnya melayani para tamunya. Akan tetapi dia tidak pernah meninggalkan ibadah, termasuk shalat dan puasa wajibnya. Profesi ini ia lakukan selama hampir 2 tahun. Kemudian pada suatu saat ia bertobat tanpa meminta nasihat kpd org alim, dia langsung tinggalkan saja pekerjaannya itu, dia tetap melakukan kewajinbannya sebagai muslim. Dalam kurun waktu 1 tahun ia bertobat, kemudian ia bercerita kepadsa saya tentang hal ini. Saya agak bingung dengan apa yang dilakukannya, apakah ketika ia melakukan ibadah dalam kurun waktu menjadi profesinya itu tidak pernah melakukan mandi junub, dia tidak tahu tentang hal itu, yang saya tanyakan:
    1. Apakah ia wajib mengganti sholatnya yg ia lakukan ketika ia menjadi PSK dalam waktu kira2 3 tahun (2 tahun masa PSK n 1 tahun tobat tanpa mandi besar)?
    2. Apakah ia wajib mengganti puasa ramadhan yang ia kerjakan dahulu ketika masa PSK n sesudah ia bertobat ttpi tdk mlkukan mandi besar? kalaupun ia mengganti apakah ada hukuman tambahan krn ia mengumpulkan hutang puasa wajibnya 2 thun?
    3. Apakah puasa ramadhan yang wajib itu mempunyai rukhsoh untuk pasangan suami istri saja yang ketika bangun fajar ia ttp sah puasanya meskipun dlm keadaan junub,sedangkan untuk yang PSK tidak?
    mohon pertanyaan saya diberikan dalil yang menguatkan dan alasan2 apabila terdapat rukhsoh ataukah tidak untuk masalah itu? mohon maaf, karena ini saya seorang yang bodoh untuk diberi pertanyaan seperti ini. (Hikmah, Semarang)
    Jawaban
    Waalaikum Salam.
    Pertama-tama kita ucapkan Alhamdulillah dan bersyukur kepada allah SWT yang telah memberikan kepada kita taufik untuk bertobat dari maksiat, sesungguhnya itu suatu kenikmatan yang luar biasa dari Allah, berapa banyak orang yang terjerumus seperti yang teman anda alami atau kemaksiatan yang lain tapi tidak mendapatkan hidayat untuk bertobat kepada allah SWT.
    Untuk masalah anda, pertama-tama perlu diketahui terlebih dahulu bahwasanya termasuk syarat sahnya solat adalah melakukannya dalam keadaan bersuci, baik dari hadast kecil dan besar. Jika syarat itu dilanggar, maka hukum sholatnya tidak sah, baik dia lupa dalam keadaan hadast atau tidak, baik mengerti hukum itu atau tidak, semua mewajibkan untuk mengqodo’ sholat.
    Sebenarnya mengqodo’ sholat itu harus dilakukan secara langsung dan tidak boleh ditunda-tunda karena anda dianggap meninggalkan sholat tanpa undzur, tapi agama islam itu agama yang mudah dan gampang sehingga dikatakan oleh sebagian ulama bahwasanya mengqodo’nyapun tidak harus dilakukan secara langsung, tapi dilakukan sedikit demi sedikt sesuai dengan kemampuan. Misalnya seseorang ketika melakukan sholat dhuhur jika dia mampu melaksanakan 4 kali, yang satu untuk kewajiban hari itu dan yang ketiga untuk mengqodo’ hari-hari sebelumnya kalau mampu maka lakukan yang seperti itu.
    Adapun masalah puasa tidak ada syarat dalam sahnya puasa yang menyebutkan harus dilakukan dengan keadaan suci baik dari hadast kecil maupun besar, jadi puasa anda sah dan tidak wajib di qodo’.
    Demikian jawaban dari kami, semoga di mengerti dan bermanfaat.

    2. Pertanyaan.
    Assalamualaikum wr.wb. Saya mau aqeqah dan tapi Insyaallah rencananya saya akan laksanakan bersamaan syukuran acara nikah saya, apa boleh?. Satu hal lagi apa bagi orang yg ber-aqeqah tidak diperbolehkan memakan dagingnya.karena ada ulama berpendapat boleh dan tidak. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wassalam. (Ilham, Surabaya)
    Jawaban.
    Waalaikum salam ya akhi Ilham, semoga Alloh senantiasa memberi hidayat anda sekeluarga. Jadi menyembelih kambing aqiqoh sekalian buat syukuran walimah nikah diperbolehkan tidak apa-apa dan yang melaksanakan aqiqoh ikut makan juga tidak apa-apa. semoga hal ini dapat dimengerti.

    3. Pertanyaan:
    Assalamualaikum wr wb, Hesty anak perempuan ke 4 dari 4 bersaudara. Orang tua Hesty menganggap rumahnya yg kecil tidak menjadi warisan dan mendidik untuk mandiri kpd anak-anaknya, ketiga kakak sudah menikah dan mempunyai rumah masih-masing di luar kota. Hesty berdua dengan ibu mengurus segala permasalahan biaya pajak dan keperluan rumah lainya. Ibu mengamanati Hesty untuk membeli rumahnya dan mengubah atas nama rumah tersebut. Tetapi Hesty ragu-ragu apa hal ini dibenarkan, hanya karena ibu ingin menjalankan amanat ayah almarhum untuk tidak menjual rumah kepada pihak lain tetapi untuk tempat berkumpul anak cucunya kelak dan jika tidak diatas-namakan Hesty, ibu kawatir amanatnya tidak akan terjaga. Walaupun Hesty keberatan, tetapi Hesty sangat ingin menjalankan amanat ayah dan ibu. Mohon petunjuknya atas permasalahan ini. Sebelumnya Hesty ucapkan terimakasih wss
    Jawaban.
    Waalaikum salam ukhty Hesty. Jadi yang namanya warisan tetaplah warisan karena itu adalah hukum syari’ yang tidak dapat dirubah. Jadi rumah itu milik ahli waris yang terdiri dari seorang istri dan 4 anak jika si ayah tidak punya orang tua. Adapun jika ibu meminta supaya anda membeli rumah itu dan atas nama anda maka boleh boleh saja. Caranya yaitu dengan membeli hak ahli waris yang lain selain hak anda dari harta waris itu. misalnya rumah itu harganya 100 juta maka anda harus membayar jumlah tersebut dikurangi bagian anda dari 100 juta itu, dan melaksanakan wasiat orang tua termasuk bentuk kebaktian seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah meninggal. Semoga hal ini dapat dimengerti.

    4. Pertanyaan.
    Yang terhormat Ust. Ali Hasan Baharun, Apakah hukumnya membuka aurat bagi laki-laki dan perempuan di luar shalat dan dalam keadaan sendiri dan banyak orang.? dan bagaimana dengan orang yang melihat aurat laki-laki dan perempuan baik sengaja ataupun tidak disengaja..? Terima kasih atas jawaban dan penjelasannya. (Ibnu Ali, Bekasi)
    Jawaban.
    Aurat laki-laki terbagi empat:
    1) Antara pusar dan lutut: ini berlaku ketika solat, berada dihadapan laki-laki, di hadapan perempuan yang mahromnya, atau yang bukan mahromnya menurut sebagian ulama.
    2) Menutup semua badannya: ini berlaku dihadapan perempuan yang bukan mahromnya menurut pendapat yang kuat.
    3) Menutup kemaluan depan dan belakang: ini berlaku ketika tidak ada orang lain, maka tidak boleh melihat kemaluanya sendiri kecuali jika ada kepentingan seperti mandi, istinja, mencukur rambut, dan lain-lain.
    4) Tidak harus menutup auratnya: ini berlaku dihadapan istri
    Sedangkan aurat perempuan terbagi lima:
    1) Antara pusar dan lutut: ini ketika dia sendiri, dihadapan perempuan lain, atau laki-laki yang mahrom.
    2) Menutup anggota badan yang tidak tampak biasanya ketika sibuk bekerja: ini berlaku dihadapan perempuan yang kafir atau muslimah yang fasiq, maka tidak diperkenankan di hadapan mereka membuka anggota badan kecuali yang biasanya tampak ketika bekerja seperti kepala, wajah, leher,tangan sampai sikut, kaki sampai betis.
    3) Semua badannya kecuali wajah dan telapak tangan: ini berlaku ketika solat.
    4) Semua badannya: ini berlaku di hadapan laki-laki yang bukan mahromnya.
    5) Tidak ada batas aurat: ini berlaku dihadapan suami.
    Insya allah pertanyaan anda terjawab dengan keterangan di atas tadi. Adapun pertayaan kedua hukum melihat aurat tanpa disengaja tidak berdosa selama dia langsung memalingkan penglihatanya.

    more
  • Negara Islam Indonesia, Mimpi Muslim Untuk Nusantara Baru-baru ini, muncul kasus cuci otak dengan korban para mahasiswa yang dimanfaatkan oleh oknum berkedok NII. Para korban kemudian menjadi obyek eksploitasi setelah berhasil didoktrin menjadi pengikut ajaran “neo-NII” yang sebenarnya sudah menyimpang dari konstitusi NII yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo.
    Sudah lebih 60 tahun negara ini memperoleh kemerdekaannya setelah dijajah oleh beberapa bangsa asing selama tiga ratus tahun lebih. Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. Fakta—kalau memang benar-benar fakta—yang diungkapkan dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah maupun yang tersimpan di dalam arsip nasional Pemerintah Indonesia dianggap sebagai kebohongan oleh sebagian pihak, termasuk di antaranya komunitas yang mengaku sebagai Warga Negara Islam Indonesia dan para simpatisannya.
    Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama yang tak dapat dilepaskan dari pembahasan masalah yang berkaitan dengan Negara Islam Indonesia. Dialah pendiri negara berasas Islam tersebut. Dalam sejarah yang kita pelajari, Kartosoewirjo adalah tokoh yang tidak lebih dari seorang pemberontak yang telah mendirikan negara baru di wilayah negara Republik Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah saw.
    Di masa reformasi ini, saat tak ada lagi yang harus ditutup-tutupi, sudah selayaknya masyarakat, dalam hal ini umat Islam, menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962).

    Kekecewaan Terhadap Sekularisme Nasional
    Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah.
    Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik dan menerima proklamasi tersebut. Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam.
    Semenjak itu, kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”. Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
    Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya.
    Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai "Islam yang muncul dalam wajah tegang." Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah “pemberontakan”.
    Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius. Bahkan namanya pun memicu polemik, ‘Pemberontak’kah dia atau seorang ‘Syuhada’.

    NII, Nama Besar yang Disalahgunakan Banyak Oknum
    Beberapa tahun belakangan, muncul suatu pembahasan di berbagai kalangan, terutama mahasiswa Muslim, tentang kembali bangkitnya pergerakan NII. Namun, tak banyak informasi yang dapat menjelaskan secara lengkap dan runut mengenai pergerakan tersebut. Berbagai sumber mengatakan bahwa NII yang banyak dibicarakan orang saat ini bukanlah NII atau DI/TII seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. NII yang, konon, menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah ini disebut-sebut memiliki kaitan erat dengan Pondok Pesantren Al-Zaytun di Jawa Barat. Pondok pesantren modern ini berdiri pada akhir tahun 1990-an dan diresmikan oleh Presiden RI saat itu, B.J. Habibie.
    Sebuah situs di internet menyebutkan ciri-ciri kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan NII tersebut. Berikut ini adalah sebagian ciri-cirinya: 1. Dalam mendakwahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat, dan baru akan dibuka ketika mereka sampai ke tempat tujuan. 2. Para calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga, para calon dengan mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah omongan tentang Dinul Islam. Padahal, kebanyakan akal merekalah yang berbicara dan bukan Dinul Islam yang mereka ungkapkan. Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan, sehingga yang terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih islam. Islam hanya sebagai alat penyedot uang. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu/berbohong meskipun kepada orang tua sendiri.

    Negara dengan Syariat Islam dan Persepsi yang Keliru
    Tak banyak orang yang mengerti apakah syari’at Islam itu sesungguhnya. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa syari’at itu tak lain hanyalah hukuman potong tangan bagi yang mencuri, hukuman rajam bagi yang berzinah, dan hukuman mati bagi yang membunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh tersebut. Padahal, sebenarnya, syari’at Islam memiliki makna yang lebih dalam daripada semua hal tersebut karena syari’at Islam bukan hanya mengatur bagaimana tata cara dan norma-norma yang harus dipatuhi dalam berhubungan dengan sesama manusia atau disebut juga muamalah melainkan juga mengatur mengenai hubungan manusia dengan Penciptanya yaitu Allah swt. Contohnya antara lain, ibadah salat lima waktu yang kita tunaikan tiap hari.
    Karena luasnya bidang kehidupan yang diatur dalam Islam, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Islam hanya sebatas agama yang diyakini pemeluknya, melainkan merupakan suatu totalitas yang memiliki cakupan universal. Luasnya cakupan itu antara lain ditunjukkan dengan adanya konsep bernegara dalam Islam. Konsep bernegara itu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan mendirikan Negara Islam Madinah.
    Negara Islam Madinah pada masa itu merupakan prototipe dari suatu negara modern karena kerangka bernegaranya sudah diatur secara tertulis dengan dibentuknya Piagam Madinah, yang tak lain merupakan konstitusi negara. Sudah banyak para peneliti Barat yang melakukan penelitian terhadap jejak-jejak kejayaan umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw., di antaranya adalah W. Montgemery Watt yang telah banyak melakukan penelitian dan pengkajian terhadap Piagam Madinah. Dialah yang menamai piagam tersebut sebagai “The Constitution of Medina”. Sementara, dalam naskah Piagam Madinah sendiri, piagam tersebut dinamai dengan Al- Shahifah. Maknanya tidaklah berbeda dengan kata-kata charter atau piagam.
    Negara Islam Madinah telah melaksanakan syari’at Allah swt sepenuhnya, meskipun Rasullullah saw memahami bahwa masyarakat Madinah tidak seluruhnya beragama Islam melainkan merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Namun, akhirnya Islam tetap ditegakkan.
    Dipandang dari sudut ilmu ketatanegaraan modern, piagam tersebut sudah memenuhi syarat-syarat sebagai konstitusi. Ada tiga syarat agar suatu naskah dapat dijadikan sebagai konstitusi suatu negara, yaitu: pertama, mengatur pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Bila dikaitkan dengan Piagam Madinah, pembagian kekuasaan di situ dapat disamaartikan dengan pembagian tugas dari masing-masing golongan untuk membela kepentingan sesama penduduk Madinah, Kedua, dalam piagam tersebut juga diatur hubungan antara masing-masing lembaga negara, dalam hal ini diatur hubungan antara masing-masing kaum, Ketiga, perlindungan terhadap hak asasi manusia para rakyatnya. Dikaitkan dengan Piagam Madinah, perlindungan terhadap manusia sangat ditekankan karena dapat diketahui dari asal muasal dibentuknya Piagam Madinah, yaitu untuk mewadahi segala kepentingan politik setiap anggota kaum yang terdapat di Madinah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 16 yang menyebutkan: “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya.”.
    Dengan adanya piagam tersebut, maka Madinah telah memenuhi unsur-unsur awal untuk terbentuknya suatu Negara Madinah. Syarat-syarat itu antara lain, adanya wilayah tertentu yakni kota Madinah, adanya rakyat yakni masyarakat Madinah, dan adanya pemerintahan yang berdaulat yakni Nabi Muhammad saw. Dengan adanya piagam ini, maka kedaulatan Tuhan yang bersifat teosentris mulai berlaku di seluruh penjuru Madinah.
    Selanjutnya, pemerintah Islam hendaklah menegakkan yang benar dan membasmi yang salah. Apalah artinya negara Islam jika pemerintahnya dengan leluasa memerangi yang ma’ruf dan menegakkan yang munkar. Perkara ma’ruf yang jelas ialah melaksanakan hukum-hukum Allah swt., seperti yang terkandung dalam hukum hudud, qisas, takzir, dan sebagainya. Perkara munkar adalah jelas seperti mabuk, judi, menyembah berhala, meramal, dan sebagainya berdasarkan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 90. Semuanya wajib diberantas dengan cara memperbaiki akhlak tiap manusia serta diikuti dengan perbaikan sistem. Ada pepatah yang mengatakan bahwa di dalam sistem yang baik, orang yang paling jahat pun tidak akan dapat melakukan kejahatan.
    Indikasi adanya perubahan bangsa kita ke arah yang tidak baik dapat kita lihat dari banyaknya tayangan media elektronik yang banyak mengandung adegan kekerasan, tayangan mistik dengan menampilkan paranormal yang menggunakan simbol-simbol agama Islam, dan tayangan yang dengan vulgar mengumbar aurat bahkan video porno. Semua hal tersebut secara tak langsung dilegalkan dengan berlindung pada tembok Hak Asasi Manusia. Tembok tersebut dibangun dari rasio manusia tanpa didasari oleh nilai-nilai agama sebagai pondasinya. Sekiranya hal tersebut tidaklah dapat diterima oleh kita umat Islam. Dengan pola pikir bangsa Indonesia yang seperti itu, maka semakin terpuruklah bangsa kita karena sudah mulai kehilangan jati dirinya di muka masyarakat internasional.

    NII, Impian Seorang Muslim
    Dari kesemua uraian di atas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Islam mengenal apa itu konsep negara. Negara Islam tetap memberikan tempat pada agama lain dan memberikan jaminan kebebasan kepada umat agama lain untuk tetap beribadah menurut agamanya masing-masing. Itulah keadilan dalam Islam. Maka, mungkinlah apabila seorang Muslim bertemu dengan Muslim yang lain membicarakan konsep negara, kemudian mereka bersama-sama melakukan pergerakan untuk membangun Negara Islam Indonesia yang merupakan hak dari mereka sebagai umat islam dan Warga Negara Indonesia.
    Perbuatan itulah yang kemudian dilakukan oleh Kartosoewirjo dengan DI/TII-nya. Patut disayangkan di sini adalah bahwa pergerakan yang dilakukan tidaklah harus selalu dengan suatu pemberontakan demi mengharap suatu perubahan yang cepat diraih. Alangkah baiknya sebelum kita mendirikan suatu negara yang berlandaskan pada hukum Allah swt., dibangunlah dahulu pemikiran-pemikiran yang dapat diterima oleh rasio atau yang berlandaskan metode ilmiah. Dengan begitu, kepercayaan dari masyarakat dapat diperoleh karena masyarakat telah mendapat pendidikan mengenai apa itu sebenarnya negara Islam yang juga merupakan haknya. Karena pada masa sekarang ini, menggunakan kekerasan untuk mencapai perubahan sudah tidak dapat ditoleransi lagi.

    more
  • Menjadi Orang Kaya Dengan Memperkaya Hati ليس الغنى لكثرة العرض و لكن الغنى غنى النفس ( الحديث )

    Mereka adalah orang yang sangat kaya. Lebih kaya dari siapapun juga di dunia. Bukan dengan uang, perusahaan, atau harta benda lainnya. Mereka menjadi orang kaya dengan memperkaya hati mereka

    Ada orang-orang yang meski hidupnya sering dipandang serba berkekurangan, namun mereka tetap tenang menjalani hidup. Kedamaian jiwa senantiasa menyelimuti hari-harinya sementara disaat yang sama pula tekanan hidup seolah tak hentinya menghantui. Mereka, tak pernah merasa khawatir, takut, gelisah bahkan putus asa mengukur jalan panjang kehidupan yang bagi sebagian orang lainnya sering terlihat begitu berat dan menyesakkan. Ujian dan cobaan yang datang silih berganti tak membuat mereka lelah apalagi berpikir untuk mengakhiri hidup. Goretan-goretan perjuangan pun bahkan tampak jelas dari derasnya peluh yang mengalir. Demikian pula, kepahitgetiran hidup tak pernah memaksa mereka membutakan mata untuk melakukan perbuatan jahat.

    Mereka tak berpangkat dan jabatan, juga tak berpenghasilan memadai dimata orang-orang berlebih. Perjalanan mereka tetap terasa sejuk dan menyenangkan tanpa kendaraan pribadi, tak menaruh keceriaan hidup pada tempat-tempat rekreasi. Bagi mereka, berkumpul dan bercanda penuh suka cita dengan seluruh keluarga sudah menjadi rekreasi yang memuaskan. Bukan sepatu dan pakaian bagus, tapi cukup dengan memastikan tak satupun anggota keluarga mereka yang bersedih hati dihari itu, dijamin senyum pun terkembang. Makan hidangan ala kadarnya di rumah bersama segenap anggota keluarga, bagi mereka jauh lebih nikmat dengan membayar mahal sebuah tempat makan di luar yang bercampur dengan orang lain.

    Sementara di seberang kehidupan mereka, ada orang-orang yang menggantungkan kebahagiaannya pada banyaknya harta yang mereka miliki. Tak pernah ada kata cukup dalam hal kepemilikan, karena dalam kehidupan mereka, kebutuhan akan kepuasan hidup terus berpacu dengan semakin giatnya pencarian kekayaan. Hingga akhirnya, mereka selalu gelisah atau khawatir akan hidup kekurangan, bahkan ketakterkecukupan menjadi suatu yang menakutkan untuk sejauh mungkin dihindari. Bukan tidak mungkin, rasa takut akan datangnya orang yang merampas paksa harta mereka, kerap menghantui malam-malamnya.

    Tentu saja tidak semua orang-orang berkecukupan mengalami keterhenyakan hati seperti diatas, sebagaimana halnya tidak semua orang-orang miskin mampu mengendalikan setiap tekanan yang memang tak bosan menghampirinya. Perbedaannya hanya pada hati, seberapa kaya hati mereka sehingga bisa melepaskan semua belenggu material yang menghinggapi, seberapa kaya hati mereka sehingga mampu menguasai dan mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginan yang sering kali tak terbendung. Untuk kita, seberapa kaya juga hati-hati dipersiapkan untuk dapat terus bertahan dengan segala cobaan hidup yang jelas-jelas mustahil tidak ada.

    Perkayalah hati ini dengan dzikir yang membasahi lembar-lembar hati yang sudah kering. Sejukkan dia dengan keheningan malam-malam yang tak terlewati dalam simpuh di kaki-Nya, dimana ada butir-butir tangis yang meruntuhkan kesombongan dan mengembalikan kesadaran kita akan tempat kembali. Rasulullah Muhammad Saw telah mencontohkan kepada kita soal kekayaan hati dengan memperbanyak mengingat Allah, sehingga meski sebagai manusia mulia yang begitu dihormati pengikutnya, ia memiliki peluang untuk hidup berlebih, namun kesederhanaanlah yang menjadi pilihannya. Ia juga yang mengajarkan kita untuk selalu takut akan adzab Allah dengan memperbanyak memohon ampunan-Nya.

    Di Inggris pernah ada pencuri yang begitu sangat didambakan oleh para konglomerat. Media pers kerap memberitakan soal pencuri tersebut karena prestasi dan keberhasilannya menyatroni rumah-rumah para konglomerat. Uniknya, memang pencuri ini spesialis pembobol rumah para konglomerat, sehingga setiap ia tertangkap di pagi hari, petang harinya seorang konglomerat lainnya sudah menebusnya keluar dari penjara dengan satu syarat, bahwa ia harus membobol rumahnya malam ini. Tentu saja yang dicari para konglomerat itu adalah pengakuan bahwa dirinya memang kaya raya sehingga pantas didatangi oleh raja pencuri itu. Tentu saja, bukan model seperti ini pemberian yang kita lakukan kepada orang lain, bukan pemberian yang semakin mempertegas jarak si miskin dan si kaya, memperjelas status bahwa yang memberi adalah orang berpunya yang harus dihormati oleh orang yang menerima.

    Sungguh kasihan orang-orang yang kaya materi namun hatinya begitu miskin, karena harta yang dimilikinya tak selamanya mampu menenangkan hati mereka. Bahkan mungkin hati mereka begitu tersiksa karena telah begitu lama dikendalikan oleh materi, bukan sebaliknya bahwa merekalah yang seharusnya memegang kendali. Atau bisa jadi mereka tak pernah menyadari hatinya begitu miskin. Tangisan hatinya yang setiap hari, tak pernah terdengar karena tertutup oleh hingar bingar kesibukannya memperkaya jasad, tidakkah ia tahu bahwa hatinya sangat iri untuk juga ingin dicukupi?

    Sementara itu, sungguh malang nian orang-orang yang memang tidak memiliki apa- apa dalam kehidupan dunianya, tetapi terus membiarkan hatinya kering tanpa setitikpun kegemerlapan hati. Padahal ia sangat mungkin memperkaya hatinya dengan cara dan kemampuan mereka sendiri. Merasa cukup dengan apa yang dimilikinya (qonaah) dan rendah hati (tawadhu') karena memang tak ada yang patut disombongkan, berusaha dan bekerja tanpa mengandalkan dua tangan yang terus dibawah dalam posisi menerima, tidak merasa rendah diri dan menyesali ketentuan yang diberikan Allah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya agar tak lekas berputus asa atas setiap cobaan yang diterimanya. Bukankah dengan demikian mereka mampu membuktikan siapa yang kaya sebenar-benarnya kaya? Wallahu a'lam bishshowaab

    more

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos