Advertisement

  • Filsafat Hidup, Pergeseran Orientasi dan Kemerosotan Moral

    Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk 238.452.952 jiwa (2004) yang 90 % di antaranya memeluk agama Islam. Agama Islam adalah sebuah agama yang menjunjung tinggi akhlaq dan nilai-nilai kebaikan seperti yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan pedoman utama dalam Islam. Di situlah diajarkan aqidah tauhid, teologi yang berdasar pada monotheisme, dan syari’ah yang merupakan praktek ibadah yang harus dijalankan pemeluknya. Karena itu, timbullah konsep kebaikan dan kejahatan yang merupakan konsekuensi adanya Tuhan tunggal sebagai otoritas mutlak. Dari Al-Qur’an dan Hadis itulah kita bisa melihat ajaran, ideologi dan nilai-nilai kehidupan dalam Islam yang harus dijalankan oleh pemeluknya.

    Agama mengajarkan bahwa alam semesta dan seisinya termasuk manusia adalah ciptaan Allah. Alam adalah baru, berasal dari tidak ada dan menjadi ada karena Allah yang menciptakannya. Allah adalah causa prima yang semua berasal darinya dan akan kembali padanya. Manusia, berdasar pada Al-Qur’an, adalah makhluk yang lemah, merupakan satu diantara ciptaanNya yang pada akhirnya akan mati dan kembali padaNya. Ia akan mempertanggung jawabkan semua yang telah ia lakukan ketika hidup di hadapan tuhannya.

    Manusia yang menyadari bahwa hidup di dunia bukanlah segalanya karena terdapat dunia idea yang tidak terjangkau indera manusia dan setelah mati ia akan mempertanggung jawabkan masa hidupnya yang singkat di akhirat yang tidak ada akhirnya, maka seharusnya ia tahu sebuah kesalahan atau dosa sangatlah mahal harganya karena akan mendatangkan akibat yang tidak kecil. Adalah kebodohan nyata bila menukar kehidupan abadi dengan kenikmatan sesaat dan memilih siksa tak berujung sebagai ganti surga.

    Meski pemeluk Islam di Indonesia adalah yang terbesar, sayang sekali kesadaran mereka untuk menjalankan idealisme Islam sangatlah kecil. Terbukti angka kriminalitas yang tinggi, kemerosotan moral masyarakat dan budaya korupsi menjadi hal yang lumrah. Indonesia menurut survey yang diadakan oleh Political and Economy Risk Consultancy (PERC) adalah Negara paling korup diantara 16 negara kawasan Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Tepuruknya kondisi sosial di semua bidang menandakan rendahnya kesadaran moral yang dengan gampang diabaikan ketika ada tuntutan super ego atau pemenuhan kebutuhan sekunder.

    Kemajuan teknologi yang menyentuh seluruh sektor kehidupan telah mengubah pola dan tujuan hidup manusia. Orientasi kehidupan telah bergeser pada persoalan ekonomi karena hanya dengan materi orang akan mendapat peran posisi dan arti. Tujuan hidup bukan lagi ‘surga’ atau akhirat akan tetapi di sini, di dunia dan sekarang juga dan pada akhirnya menghalalkan segala cara, mendorong perilaku biadab, tak berbudaya dan tak beragama. Filsafat hidup materialisme saat ini telah menjangkiti manusia kebanyakan. Manusia dituntut untuk menjadi kreatif, kompetitif dan pragmatis agar bisa mecapai kekayaan yang menjadi tujuan hidupnya. Di sisi lain, akses menuju kekayaan sangat terbatas dan cara-cara kotor merupakan alternatif yang menjadi pilihan. Fenomena ini sangat disayangkan dan menandakan bahwa masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang berkemanusiaan dan berbudi. Penghormatan atas keberagaman belum dijunjung tinggi.

    Belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009). Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.

    Pendidikan merupakan agen perubahan kebudayaan (cultural broker) bagi masyarakat sekitar. Mau atau tidak pendidikan Islam harus melakukan pembenahan. Hal ini merupakan tugas berat karena kehidupan modern menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama.

    Tuntutan sosial yang mengharuskan seseorang melakukan penyesuaian diri dengan kebutuhan masyarakat dan membekali diri dengan skill untuk bertahan hidup harus dibarengi dengan karakter yang bermoral dan jiwa yang bertanggung jawab. Tanpa itu, akan terciptalah manusia-manusia cerdik pandai yang tak bermoral dan biadab.

    Karakter adalah keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M). Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika, ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).

    Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23)

    Dalam Islam, pembentukan akhlaq adalah aspek yang paling penting dalam kepribadian muslim.That is why we can see that the goal of Islam – of the concepts, worships and teachings relating to values, attitudes, morals and behaviour is to create an Islamic personality. Itulah mengapa kita dapat melihat bahwa Islam menjunjung tinggi konsep, dan ajaran-ajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai, sikap, moral dan perilaku dengan tujuan menciptakan kepribadian Islami. The Prophet (pbuh) has stated the foremost purpose of being sent down in this world and the method of his mission in the following words. Nabi s.a.w. telah menyatakan tujuan utama diutusnya beliau dan metode misinya dalam kata-kata berikut,”I have been sent for the purpose of perfecting good morals.” “Sesungguhnya Aku telah dikirim untuk tujuan penyempurnaan moral yang mulia.” Inculcating good manners among the people and purifying them as per the noble teachings of Islam was the ultimate responsibility given to the Prophet (pbuh) and after him the believers are to set an ideal example of Islamic Character before the public. Menanamkan perilaku terpuji ke dalam jiwa kaum jahiliyyah pada periode awal Islam dan memurnikan mereka sesuai dengan ajaran mulia Islam menjadi modal utama umat Islam sehingga mampu menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Islam merubah semenanjung Arab ketika itu dari nothing menjadi sebuah super power.

    Pembenahan akhlaq dan kepribadian adalah tanggung jawab utama yang diberikan kepada Nabi (saw) sehingga beliau menjadi uswah, bagaimana sosok ideal seorang muslim dan menjadi figur percontohan publik. Kesadaran akan pentingnya bersikap baik dalam arti menghindari dosa, dan menapaktilas kepribadian Islami akan tumbuh jika diikuti dengan kuatnya iman dan idealisme Islam, sadar bahwa dunia bukan segalanya dan kekayaan bukan tujuan. Orang bijak bukan mereka yang ingin menggapai kekayaan semata tetapi mereka yang menuju kebahagiaan sebenarnya.

    Sudah seharusnya seorang muslim mempunyai karakter Islami sehingga menjadi sosok ideal yang menjadi tujuan Islam dan bermoral, tidak hanyut dalam materialisme yang telah tertanam kuat dalam pikiran masyarakat bersamaan dengan industrialisasi dan kemajuan teknologi dan sains, sehingga mengabaikan nilai-nilai kejujuran yang kian langka dan mengedepankan kesuksesan materi yang menghalalkan segala cara kotor karena beranggapan bahwa hidup adalah sekarang ini, lupa terhadap terhadap dunianya, asal mulanya, dan tujuan hidupnya.

    Amiruddin Fahmi

0 komentar:

Leave a Reply

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos