Advertisement

  • Menuju Jalan Kebenaran

    QUL HADZIHI SABILI
    Al-Alim Al-Allamah Al-Muhatdits
    As-Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani


    Abuya -bapakku- begitulah panggilan akrab santri beliau as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki kepadanya, begitu dekat dan familier, dan kedekatan hubungan mereka dengan Abuya, adalah timbal balik dari panghargaan sang Abuya kepada santri-santrinya dengan hubungan suhbah yang beliau bangun diantara mereka sehingga menjadi hubungan seperti ayah dan anak, diceritakan bahwa Abuya sendiri memanggil santrinya dengan sebutan ya waladi -anakku- sebegitu perhatiannnya dan sayangnya beliau kepada para santri -anak-anak- nya, ketika tiba waktunya sang santri pulang dan berdakwah di kampung halamannya masing-masing tetap selalu beliau pantau, bahkan beliau bertanya-tanya kepada siapapun yang bisa beliau tanyakan, perihal anak-anaknya, dan sebegitu perhatiaannya juga beliau, pada hal-hal yang dianngap remeh oleh kebanyakan orang namun sebenarnya dampak yang ditimbulkannya sangat besar sehingga terkadang beliau marah apabila ada santrinya membuang sisa tisu yang masih bisa dipakai, atau salah (terbalik) meletakkan kacamata dan lain sebagainya.

    Perhatian Abuya yang seperti ini dan ketajamannya dalam menyoroti sebuah pemikiran yang membahayakan keberadaan islam dalam kehidupan bersama ini ditunjukkan dalam tulisannya -Qul Hadizihi Sabili- (Seri Akidah) bahwa beliau memprediksi akan adanya aliran yang hanya membenarkan alirannya sendiri dan sangat gampang menyesatkan golongan selainnya, itu ketika berbagai aliran mulai muncul serta berusaha merongrong akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menjamurnya aliran-aliran sesat, dan ditengarai dengan adanya sebuah golongan dengan semangat yang tinggi tanpa kredibilitas keilmuan kurang mumpuni, akhirnya melahirkan ghoyur bila ilm, mereka pandai mengkritik tapi keilmuan mereka masih sangat dangkal dan belum sampai pada tujuan kritik itu sendiri, muncullah satment ngawur yang berlipat-lipat, sebut saja HTI aliran yang sangat getol dengan konsep khilafahannya mereka berpendapat bahwa syari’at ini belum bisa dijalankan sebelum khilafah berdiri, dengan semangat yang tinggi, orasi di petinggi-petinggi negeri, demo di sejumlah instansi dan melakukan ekspansi ke kampus-kampus dan hasilnya mereka dapat simpati besar dari sebagian kampus, namun ketika sejumlah instansi tidak menggubrisnya dan pemikiran yang mereka usung tidak membuat atsar, mereka alihkan sorotannya pada para santri (sebagai mayoritas golongan yang eksis dibidang akidah) khususnya pesantren di Indonesia dengan anggapannya bahwa santri adalah generasi yang melempem dan tak mampu bergerak.

    Sepintas tuduhan mereka benar, dan pada dasarnya memang santri belum mampu berorasi, tidak bisa menjadi actor utama pada hal-hal terkait kemajuan islam dalam pandangan mereka dan terkesan sangat minder di pentas publik, dan akhirnya mereka mulai menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah. Dan lain sejenisnya dari pemikiran yang menganggap golongannyalah yang paling benar dan yang lain salah, semisal LDII, Wahabi, Gerakan-gerakan berdalih jihad dan Syi’ah setelah revolusi Iran dll, jenis pemikiran inilah yang Abuya soroti sebelum hal itu menjadi-jadi, bersamaan dengan itu beliau mengarang kitabnya ini, selain itu golongan-golongan ini dianggapnya akan menyalbutkan (mengacaukan) tatanan akidah Ahlus Sunnah yang sudah lama dibangun. Maka dari itu santri pertama beliau Ust. Ihya’ Ulumiddin mengajarkannya di halaqoh-halaqoh kampus yang dibinanya sebagai tandingan pemikiran HTI dan LDII di kampus-kampus. Dan Abuya sendiri di makkah berperang pemikiran dengan Wahabi.

    Kitab ini banyak membahas seputar akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari bab iman dengan judul awal “La Ilaha Illah”. Dengan judul seperti ini sudah cukup menegaskan bahwa kitab ini membahas tentang ketauhidan, Laisa Kamitslihi Syaiun, sifat wajib kepada Alloh, al-Qur’an kalamulloh, dan seterusnya yang menjadi dasar akidah Ahlus Sunnah, sedikit berbeda dengan pembahasan yang disampaikan dalam kitab Aqidatul Awam, sebuah kitab yang sudah lama kita kenal, kita kaji sejak kecil dan merupakan kitab wajib adanya bagi setiap pendidikan islam. yaitu meringkas pembahasan Aqoid 50 (sifat wajib bagi Alloh, sifat mustahil bagi-Nya, sifat jaiz bagi-Nya, sifat wajib bagi para utusan, sifat mustahil bagi-Nya, dan sifat Jaiz bagi-Nya) Abuya hanya membahas beberapa sifat wajib kepada Alloh secara mendasar yang bisa mencakup semuanya, terkait tuntutan zaman yang membutuhkan penjelasan lebih dari hal itu. Dan pembahasan-pembahsan dalam kitab ini tidak sama dengan apa yang terjadi di zamannya Al Imam Abul Hasan Asy’ari yang pada waktu itu kontrol pemikiran dikuasai oleh orang-orang yang lebih mendahulukan pendekatan akal (rasio) sebut saja Mu’tazilah. Dengan kecerdasan, ketelitian dan kejelian yang dimiliki Al-Imam Al Asy’ari (Abul Hasan Asy’ari) serta perhatiannya yang besar terhadap akidah islamiyah, beliau mampu menjabarkan beberapa hal-hal yang terkait dengan sifat-sifat Alloh yang pada saat itu menjadi sasaran perang pemikiran di kalangan pembesar dan aimmah, sehingga muncullah Aqoid 50 yang menyatakan kesucian Alloh, Alloh tidak berbentuk seperti yang mereka tuduhkan, Qodlo’ dan Qodar Alloh dll. Al-Imam Al-As’ary dengan konsep Aqoid 50nya mampu membungkam seterunya. Karena konsep Aqoid 50nya bisa diterima secara Aqli Dan Naqli oleh pembesar, al-aimmah dan mayoritas muslimin pada saat itu dan masa selanjutnya.

    Konsep Aqoid 50 memang hanya membahas dalam lingkupnya itu saja, sesuai dengan zamannya, dan belum membahas hal lain yang terkait dengannya.semisal hal terkait dengan ilmu, maqomul Kholiq dan maqom Makhluk, makna keimanan, seputar hal yang akan terjadi setelah kematian (fitnah kubur, ba’ats dan surga dan neraka dll), hukum orang meninggalkan sholat adalah kafir jika sengaja dan sampai keluarnya waktu, pertanggung jawaban iman, pertanyaan ilmu dan lain sebagainya semua disebutkan dalam kitabnya ini (Qul Hadzihi Sabili) secara prinsipil (hal yang menjadi dasar). Dan rupanya sang pengarang mencoba mengajak mengimplementasikan (mempraktekkan) akidah dan keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, seperti disebutkan akan siksa yang berat bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya, ucapannya menyalahi (tidak sama) dengan amalnya, walaupun kedua hal ini tidak sampai membuat pelakunya kafir tapi ini termasuk akidah, pemikiran inilah yang coba Abuya usung. Dan juga seperti pertanggungjawaban keimanan bahwasannya barang siapa yang beriman didorong menginfakkan umurnya untuk taat kepada Alloh, begitu juga dengan harta dari mana ia dicari halal atau haram? dan diinfakkan dalam kebaikan atau keburukan? semuanya akan dipertanyakan, keberadaan Syafa’at di hari Qiyamat, surga dan neraka, serta keyakinan melihat Alloh di Syurga yang rupanya diingingkari oleh sebagian golongan dll,

    Sabagai kitab dasar Abuya juga mendatangkan dasar-dasar yang melandasinya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk memperkuat hujjahnya, dan bisa dijadikan pegangan bagi kehidupan kita secara individual dan bermasyarakat, ibarat-ibarat bahasanya juga mudah difaham dengan bahasa yang ringkas tapi padat makna.

    Karena umat sudah mulai meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi dasar, Abuya mengajak mereka untuk kembali dengan mengajaknya berfikir, berdzikir sebagai ikatan dengan Alloh kemudian menyajikan beberapa keutamaan-keutamaan amal, kenapa ia diperintah dan menjadi akidah, serta dampak negatife sesuatu perkara kenapa ia dilarang oleh islam, semisal perbuatan maksiat bahwasannya ia meninggalkan bekas-bekas Qobih, yang tidak ada kejelekan, musibah dan bencana alam kecuali penyebabnya adalah maksiat. Kebalikan dari ketaqwaan. Dengan sentuhan-sentuhan begitu dan pendekatan yang seperti ini khayalak lebih menerima, sehingga tujuan sesuatu diperintahkan dan dilarangnya sebuah amal bisa terpenuhi.

    Masih dalam pembahasan kitab ini, mempertahankan keimanan adalah harga mati, yakni memilih iman walaupun harus mati. Namun perlu diketahui ada beberapa hal yang membuat keimanan itu berkurang yaitu dengan amal maksiat, sebut saja itu adalah ama-amal muhlikat yang menghancurkan, penyakit hati yang siap memutar seseorang sampai 180 derajat kapan sekarang orang itu baik, besok orang itu sudah jahat dengan maksiat pada Alloh bahkan naudzubillah tsumma naudzubillah dia murtad. sebagai contoh kecil, Riya’ termasuk perbuatan syirik kecil atau disebut musyrik kecil dll, untuk mengimbanginya Abuya kemudian menyebutkan dan membahas penangkal dari hal itu dengan bab-bab munjiyat selanjutnya, taubat, banyak istighfar, kusnut tafakkur dan istiqomah dll. Kemudian di bab terakhir disebutkan seputar jihad karena akan diselewengkan dan sering disalah artikan oleh kepentingan organisasi tertentu, hakikat jihad, pembagian jihad kapan menjadi fardu Ain kapan juga menjadi fardu Kifayah dibahas secara prinsipil, kemudian menjadi akidah yang kita yakini kebenarannya.

    Keberadaan suatu golongan yang menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah bahkan sampai menuduh golongan diluarnya sesat lebih banyak digandrungi, konsep Khilafah memang harus diterapkan ditengah-tengah kehidupan kaum muslimin bila mampu, dan sebagai pengatur tatanan kenegaraan supaya terjadi korelasi dengan akidah islamiyah yakni saling menjaga, namun ketika syari’at belum bisa diterapkan tanpanya dan menyalahkan golongan yang tidak sefaham dengannya maka akidah ini dianggap tidak sesuai dengan Ahlus Sunnah (HTI), konsep ke-Amiran kepemimpinan sangat perlu dan wajib adanya sesuai dengan perkataan sayyidina umar tidak ada islam kecuali bersatu dan tidak ada persatuan tanpa adanya pemimpin dan tidak ada pemimpin kecuali ditaati, kenapa di katolik ada Paus namun di Islam tidak ada Imamah sebagai pemimpin internsional, tapi kembali lagi jika menyatakan bahwa orang yang mati tanpa sebelum membaiat pemimpin kafir sama halnya salah (LDII), dan mengajak kembali kepada al-Qur’an dan As-Sunnah tapi mengingkari kitab salaf bahkan membid’ahkanya kemudian menganggap ajarannya yang paling sesuai dengan sunnah Nabi sama halnya mau menang sendiri dan egois (wahabi).

    Begitu tajam Abuya menyorotinya bahkan sebelum mereka-mereka dan sejenisnya tumbuh pesat, Abuya menyajikannya sebagai pembendung dari ancaman berbahaya yang mengganggu akidah, dan kitab ini juga sebagai versi Tazkiyatun Nafs agar tidak terburu-buru menyesatkan bahkan mengkafirkan golongan selainnya. Seperti kutipan dalam kitab ini” termasuk dari orang yang tertipu dia banyak Sholat, Qiyamullail dan banyak beramal baik, kemudian membuatnya berbangga pada dirinya sendiri, melihat diri dan kekuatannya, namun lupa kalau hal itu adalah taufiq dan hidayah pemberian dari Alloh kepadanya”.

0 komentar:

Leave a Reply

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos