Advertisement

  • KH. Muhammad Nasichin Nur Menghabiskan Waktunya dengan Berdakwah dan Mengajar

    “Aku ingin meninggal saat melaksanakan shalat atau ketika mengajar”, demikian ungkapan beliau saat berkumpul bersama putera puterinya. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa besar semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Hal itu terlihat dalam rutinitas keseharian beliau yang terisi penuh dengan jadwal kegiatan mengajar di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah, Pondok Pesantren Salafiyah Bangil, dan beberapa majelis taklim di wilayah Bangil.
    Ustadz Muhammad Nasichin Nur yang akrab dipanggil Nasichin ketika masih kecil itu dilahirkan di Pasuruan, 1 Agustus 1949, dari seorang ibu yang bernama Nasichah dan ayahnya bernama Nur Muhammad. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga yang sederhana dengan profesi ayahnya sebagai seorang penjahit. Namun hal itu tidak mematahkan semangat beliau untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan tekun dalam menuntut ilmu. Di saat belajar di SR (Sekolah Rakyat, SD sekarang) Nasichin kecil tergolong anak yang berprestasi. Setiap ujian akhir tahun beliau selalu mendapat ranking satu dan hal ini membuat kedua orang tuanya sangat bangga.
    Setelah menamatkan pendidikannya di SR beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Di pondok pesantren inilah beliau mulai mendalami ilmu-ilmu agama dan memperbanyak khidmah dan tirakat, sehingga tubuh beliau tampak kurus ketika belajar di pesantren tersebut. Suatu hari ibunya menjenguk beliau ke pesantren dan melihat putranya yang tampak kurus dengan sarungnya yang tampak usang lalu berkata: “Nasichin badanmu kok tampak kurus?”, beliau menjawab: “ya, di pesantren harus banyak tirakat, sering puasa”, mendengar jawabannya itu ibunyapun terdiam penuh harapan.
    Satu cerita yang tidak kalah menarik adalah saat beliau mendapat predikat sebagai bintang pelajar di pesantren Sidogiri. Ketika pengumuman juara kelas dibacakan, beliau masih berada di pasar melakukan pekerjaannya sebagai buruh belanja untuk pesantren demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setelah mengetahui hal itu maka teman-temannya segera menyusul dan membawanya kembali ke pesantren penuh haru. Ternyata “buruh belanja” mereka lah yang menjadi bintang pelajar. Sebuah pelajaran bahwa keterbatasan tidak seharusnya menjadi halangan untuk meraih prestasi tertinggi.
    Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren Sidogiri beliau memutuskan untuk pindah dan berkhidmat kepada keluarga Kyai di Lasem, Jawa Tengah dengan bekerja mengisi air ke kamar mandi dan dan membersihkan kamar mandi milik Kyai. Sepulangnya dari Lasem beliau dinikahkan dengan Hamidah putri dari Haji Yusuf. Dari pernikahan ini lah beliau dianugerahi sepuluh orang anak, lima laki-laki dan lima perempuan.

    Bertemu Nabi Khidhir
    Pada tahun 1988, beliau menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Saat inilah beliau mengalami kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, beliau bertemu dengan Nabi Khidir AS. Ini terjadi pada saat beliau mengkhatamkan Al-Qur’an, tiba-tiba beliau dikagetkan oleh pemuda misterius berwajah tampan dan mengenakan jubah abu-abu yang menepuk pahanya seraya berkata kepadanya: “uskut ! (diam!)” bermaksud agar beliau diam berhenti dari bacaan Al-Qur’annya, namun beliau tidak menggubris pemuda misterius itu dan terus membaca. Untuk kedua kalinya pemuda itu berkata lagi kepada beliau dengan kata yang sama namun beliau tetap saja tidak memperdulikannya. Sampai pada teguran yang ketiga dan dengan kata yang sama barulah beliau menghentikan bacaannya.
    Setelah itu terjadilah dialog antara keduanya, pemuda misterius itu bertanya kepada beliau tentang nama dan negara asalnya. Setelah beliau menjawab pertanyaan pemuda misterius itu,beliau balik menanyakan nama dan Negara asalnya, lalu dia menjawab: “aku Balya bin Malkan Al-Madani”. Saat itu beliau tidak ingat bahwa itu adalah nama asli Nabi khidir, meski beliau sempat minta didoakan oleh Nabi Khidir tersebut dan Nabi Khidir pun mendoakannya.
    Setelah mendoakannya, pemuda misterius yang ternyata Nabi Khidir itu menyuruh agar beliau melanjutkan bacaannya dan memnyerahkan secarik kertas kepada beliau sebelum dia pergi. Setelah kepergian pemuda misterius itu beliau baru teringat bahwa Balya bin Malkan itu adalah Nabi Khidir AS. Beliau pun mencarinya kemana-mana namun tidak berhasil menemukannya, Nabi Khidir seperti menghilang tanpa meninggalkan jejak.
    Masih tentang peristiwa yang terjadi ketika beliau haji. Suatu ketika beliau sedang mengerjakan ibadah Thawaf. Di tengah-tengah ibadah tersebut beliau jatuh pingsan. anehnya ketika sadar ternyata beliau mendapati dirinya sudah berada di dekat sumur zam-zam. Beliau kaget dan bingung tidak tahu siapa yang telah menolongnya. Seandainya tidak ditolong beliau tentu sudah terinjak oleh jamaah haji lain yang saat itu juga sedang melakukan ibadah thawaf. Dari pengalaman ini beliau yakin bahwa siapa yang menolong orang lain pasti akan ditolong.

    Pribadi yang Menawan
    Beliau adalah orang yang sangat perhatian terhadap janda dan anak yatim piatu. Beliau adalah sosok di balik berdirinya Yayasan Jalaluddin yang menyantuni mereka yang kurang mampu. Untuk hal itu beliau mencari donatur dari Saudi dan masyarakat di sekitar Bangil. Amal baik itu telah dijalaninya selama lebih dari 20 tahun dengan jumlah anak yatim yang disantuni saat itu lebih dari 100 orang. Semua biaya mereka berada dalam tanggungannya termasuk biaya hidup dan pendidikan. Tidak lebih dari satu tahun sebelum wafat, beliau difitnah oleh orang yang tidak menyukai beliau. Mereka menciptakan fitnah bahwa beliau makan harta anak yatim. Padahal menurut orang-orang yang dekat dengannya, beliau justru memberi uang kepada anak-anak yatim itu dari saku pribadinya. Menghadapi fitnah tersebut, beliau tampak tenang dan sabar “itu masih ujian Allah dan pasti ada hikmahnya” demikian tuturnya seperti yang penuturan yang disampaikan oleh Musthofa Nasichin, putera terakhirnya.
    Sebagai seorang pendidik, beliau dikenal sebagai pribadi yang disiplin dan tepat waktu. Setelah suara bel tanda masuk kelas beliau langsung menghadiri kelas dan langsung mengisi materi pelajaran meskipun santri-santrinya banyak yang belum hadir. Satu cerita yang menarik dari putera beliau adalah saat beliau menunggu para jamaah datang ke mushalla, yang beliau lakukan saat menunggu jamaah adalah dengan membaca wirid sambil berjalan dan setiap ada jamaah yang masuk mushalla beliau yang menata sandalnya tanpa memandang siapapun orangnya meskipun santrinya sendiri. Sikap beliau yang demikian itu membuat para jamaah merasa sungkan terhadap perlakuan beliau sehingga ada salah seorang jamaah yang berkata: “Tak totone dewe sebelum ustadz Nasichin yang noto” (biar saya sendiri yang mengatur sandalku sendiri sebelum didahului ustadz Nasichin).
    Sebagai seorang anak, beliau dikenal berbakti kepada orang tuanya. Di mata beliau, orang tua itu adalah seperti Al-Qur’an yang tetap wajib dimuliakan. Meskipun sudah lusuh atau koyak sekalipun harus tetap dimuliakan. Setiap selesai mengajar dari pesantren Salafiyah beliau selalu menyempatkan diri datang untuk menjenguk ibunya dan memberinya sesuatu.
    Beliau sangat bertanggung jawab kepada keluarga dan memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan anak-anaknya dalam segala urusan. Setiap malam beliau tak pernah lupa membangunkan anggota keluarganya untuk shalat tahajjud dan setiap malam jum’at pasti mengingatkan keluarganya untuk membaca Qur’an surah Al-Kahfi.
    Menjelang usia senja, beliau mengidap komplikasi yang mengganggu kesehatan beliau. Meski begitu, hal itu tidak mengurangi intensitas beliau dalam mengajar yang sudah menjadi kehidupannya. Menjelang wafat, komplikasi yang dideritanya kambuh sehingga memaksa beliau menghentikan kegiatan mengajarnya dan membuatnya harus dirawat inap di rumah sakit Bangil. Sakitnya yang tak kunjung sembuh membuat beliau harus dirujuk ke rumah sakit Malang. Sore hari selepas ashar pada tanggal 4 Ramadhan 1431 H. beliau mengajak seluruh keluarganya yang telah berkumpul untuk melaksanakan shalat berjamaah. Setelah takbir, ternyata beliau telah diizinkan untuk menghadap Sang pencipta. Beliau meninggal dalam keadaan shalat disaksikan putra-putrinya di bulan yang mulia, bulan Ramadhan di rumah sakit Malang. Ketika hari wafatnya tampak masjid Agung Bangil sesak dipadati jama’ah, yang terdiri dari para tokoh habaib, ulama dan kyai serta seluruh santri-santri beliau dan masyarakat sekitarnya yang ingin menemani beliau di saat terakhir dan menshalati jenazahnya. Rombongan jama’ah yang merasa kehilangan sosok yang mereka cinta terus mengiringi dan mengikuti prosesi pemakamannya di pemakaman umum Bangil hingga akhir.
    Semoga allah selalu merahmati beliau, dan semoga kita mendapat rahmat allah berkat beliau. Amin.

0 komentar:

Leave a Reply

Arsip Blog

Pengikut

Featured Video

Photos