Advertisement
Tampilkan postingan dengan label Shofar 1432 Hijriyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shofar 1432 Hijriyah. Tampilkan semua postingan
-
Tentang Syi’ir Pujian untuk Rasulullah
Terlalu berlebihan dan ekstrem dalam memurnikan ajaran islam telah membawa seseorang kepada hal-hal yang salah dalam memahami praktek ibadah. Di antara kesalahan itu adalah menyalahkan saudara seiman karena membaca syi’ir meskipun bacaan tersebut berisi pujian untuk nabi Muhammad. Pujian kepada Rasulullah dianggap terlalu berlebihan dan fakta yang terjadi di kaum muslimin telah membawa pelakunya ke dalam kekafiran atau syirik. Syirik karena pujian-pujian itu berisi bait-bait yang menyekutukan Allah, mencampur aduk sifat Allah atau menisbahkan sebuah pekerjaan yang hanya merupakan pekerjaaNya kepada makhluknya. Al-imam al-bushiri, pengarang qasidah yang dikenal dengan nama burdah, sering menjadi sasaran kritik dalam masalah ini. Mereka bahkan mengatakan bahwa burdah adalah qasidah syirik.
Memuji Rasulullah adalah sebuah hal terpuji. Para sahabat Rasulullah seringkali mengungkapkan pujian kepada Rasulullah dalam gubahan syi'ir di depan beliau, bahkan menyampaikannya ketika sedang berada di masjid. Rasulullah pun senang dengan pujian syi'ir yang mereka lantunkan. Terdapat beberapa sahabat yang dikenal sebagai penyair di era nabi, di antaranya adalah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rowahah, dan Ka'ab bin Zuhair. Sebuah syi'ir yang terkenal dalam memuji Rasulullah adalah syi'ir Ka'ab bin Zuhair yang dikenal dengan "banat su'ad". Syair ini secara keseluruhan berjumlah 34 bait.
Ka’ab bin Zuhair adalah seorang penyair. Sebelum memeluk islam, ia pernah membuat tiga bait syi’ir yang membuat nabi murka dan menghalalkan darahnya. Dalam syi’ir itu ia mencela kakaknya, Bujair bin Ka’ab yang telah masuk islam setelah bertemu nabi dan dalam syi’ir itu pula ia menyebut nama Abu Bakar dan mencelanya. Ketika syi’ir ini sampai ke telinga Rasulullah, beliau berkata, “siapa yang bertemu ka’ab, maka bunuhlah dia”. Mendengar nabi saw murka, Bujair mengiriminya sebuah surat untuk mengabarinya tentang sabda Nabi tersebut dan mengajaknya untuk masuk islam. Maka ia pun datang ke kota Madinah untuk menyatakan islamnya dan menemui nabi yang ketika itu sedang berada di masjid. Ia pun menyatakan keislamannya di depan nabi dan merubah isi syair yang mencela Abu Bakar lalu melantunkan sebuah syi’ir yang keindahannya diakui oleh para pakar bahasa, yang diawali dengan bait banat su’adu fa qolbil yauma matbulu.
متيم إثرها لم يفد مكبول بانت سعاد فقلبي اليوم
مهند بسيف من سيوف الله مسلول ان الرسول لسيف يستضاء به
Ketika ka’ab sedang melantunkan syi’irnya tersebut, Rasulullah memberi isyarat kepada sahabatnya untuk mendengarkan bahkan Rasulullah lalu memberinya hadiah berupa sebuah burdah. Cerita tentang ka’ab bin zuhair diriwayatkan selengkapnya oleh al-Hakim dalam al mustadrok ala as-shohihain, juga disebutkan dalam al-ishobah karangan Ibnu Hajar al-Asqollani dan usdul ghobah karya Ibnul Atsir.
Dari cerita di atas, dapat kita lihat bahwa bersyi’ir yang berisi pujian untuk Rasulullah bukan merupakan hal tercela. Rasulullah sendiri senang dengan pujian yang ditujukan padanya dan menyuruh para sahabat untuk menyimaknya meskipun syi’ir itu disampaikan di dalam masjid. Tidak berhenti di situ, Rasulullah pun memberikan hadiah untuk sang penggubah syi’ir. Ka’ab bin Zuhair, seorang yang pada mulanya dihalalkan darahnya, diperintah untuk dibunuh, berkat syi’ir yang ia gubah berubah menjadi seorang yang didengar ucapannya oleh Rasulullah dan mendapat hadiah langsung darinya.
Tentang syirik yang dituduhkan mereka kepada al-imam al-Bushiri karena menyifati makhluknya (baca: Rasulullah) dengan sifat yang merupakan sifatNya dan menisbahkan pekerjaan yang hanya merupakan pekerjaan Allah kepada makhluknya seperti memberi hidayah, syafaat dan semisalnya, itu semua disebabkan kesalahan mereka dalam memahami bait-bait pujian tidak dengan proporsional. Mereka menggunakan dalil sebuah hadis, “jangan berlebihan dalam memujiku seperti orang nashrani memuji Isa putra Maryam”. Hadis ini bukanlah larangan dalam berlebihan memuji nabi, tetapi larangan untuk menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum nashrani menuhankan nabi Isa alaihis salam. Bukankah Allah sendiri telah menyebut hambanya tersebut dengan sebutan ro’uf dan rohim dalam al-qur’an padahal Allah merupakan yang rohim seperti tersebut dalam basmalah? Mereka juga salah dalam mengartikan tawassul sebagai syirik karena meminta kepada selain Allah.
Ini merupakan problem klasik yang telah diulas, dibantah dan dijawab berulang kali oleh ulama ahlussunnah melalui berbagai tulisan mereka.
-
KAMUS 'ASHRIYYAH Manhaj Sederhana Berbahasa Arab Sehari-Hari
RESENSI KITAB
KAMUS 'ASHRIYYAH
Ad-Da’i Ilalloh Al-Lughowi Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun
Manhaj Sederhana Berbahasa Arab Sehari-Hari
Sudah banyak penjelasan dan dalil tentang keutamaan berbahasa Arab dan jika disebutkan satu persatu dalam tulisan ini tidaklah cukup dan rasanya ini bukan tempat untuk membahasnya maka lihatlah di kitab-kitab Muthowwalat. Sebenarnya Penulisan Al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab sudah cukup sebagai dalil akan keutamaan dan kemuliaannya bahasa Arab bahkan Al-Qur’an sendirilah yang menegaskan akan dirinya berbahasa Arab. Dan Orang Yang Paling Fasih telah menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari.
Bahasa Arab Di Indonesia
Nama asli kamus karya Abuya Habib Hasan Baharun ini adalah Majmu’aat ‘Ashriyah Fil Lughoh Al-‘Arobiyah (Bahasa Dunia Islam) namun lebih dikenal dengan Kamus ‘Ashriyah, kamus ini hadir sebagai kebangkitan bahasa Arab khusunya di Indonesia paska (setelah) penjajahan Belanda dan Negara yang berbahasa Melayu pada umumnya seperti Malaysia, Brunei dan sebagian Singapura. Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan dirosah bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu parallel (bersambung) dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.
Dilihat dari konsepnya kamus ‘Ashriyah mempunyai ciri yang berbeda dengan kamus pencarian bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang disusun secara Harfiyah (alphabet) pada umumnya, dan jika ditinjau secara metodologi (ilmu tentang permetode-an) Kamus ‘Asriyah lebih sederhana dan cenderung pada salah satu manhaj penerapan Muhawarah Berbahasa Arab dengan panduan yang telah disusun secara sistematis oleh penyusunnya dan akan kami hadirkan nanti, bukan pada teknik terjemah seperti kamus yang beredar. Tinjuannya adalah dengan penelitian penyusunan dan pengumpulan Kamus ‘Ashriyah. Kamus ini memuat sepuluh bagian dengan empat bagian yang sering dipakai sehari-hari dan setiap bagian mempunyai sub-bagian yang terdiri dari bab-bab, bagian pertama kata benda (Al-Asma’), bagian kedua kata kerja (Al-Af’al), bagian ketiga kata-kata penghubung (Al-Ahruf) dan bagian keempat kata-kata modern (Al-Kalimah Al-‘Ashriyah). Bagian-bagian tersebut memiliki kosakata (mufradaat) yang bisa dianggap berkaitan dengan aktivitas sehari-hari sehingga setiap anak didik bisa mencari mufradat dengan mudah di kamus yang sesuai kondisinya, dengan begitu anak didik bisa menerapkan muhawarah bahasa arab dengan manhaj yang sederhana. Contoh bab yang termuat di dalamnya yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari adalah di bagian pertama dimulai dari sesuatu yang berhubungan dengan manusia dan anggotanya, keluarga, rumah dan isinya, dapur sampai jenis makanan, begitu juga terkait olahraga, waktu, perdagangan dan peridustrian dan seterusnya. Agar terpadu dibagian kedua kata kerja disusun sebagai bentuk kerja kata benda yang ada di bagian pertama tadi maka dengan begitu anak didik bias menggunakan kata benda dalam percakapan dengan adanya kata kerja. Sedangkan kata penghubung berfungsi menyambung kalimat antara Isim dan Fi’il atau sebaliknya yang sudah kita ketahui fungsi-fungsinyanya di kitab-kitab Nahwu. Dan di bab keempat dikumpulkan Kata-kata Modern untuk mengimbangi arus perkembangan yang terjadi.
Selanjutnya di bagian berikutnya Kamus ‘Ashriyah memuat sinonim (Al-Muradifat) kata dan antonim (Al-Adldad) supaya percakapan tetap hidup dan menarik tidak menoton dengan kata itu-itu terus. Cara surat-menyurat untuk membiasakan mengarang (insya’) karena insya’ juga sangat membantu dalam percakapan dengan beberapa contoh surat-menyurat dan terakhir contoh-contoh khutbah berbahasa Arab sebagai sarana dakwah dan membiasakan anak didik berpodium menyelam sambil minum air karena bisa mendapat dua manfaat melancarkan percakapan dan menguatkan mental di depan umum, sederhana kitabnya tidak terlalu tebal seperti kamus-kamus biasanya karena kesederhanaanya itu insya Allah anak didik lebih cepat menyerap dan menerapkannya.
Hal-Hal Terkait Berbahasa Arab
Ada sebuah anggapan jika orang yang tidak berbahasa inggris ingin mahir berbahasa inggris dia harus menguasai dan hafal 9.500 kosa-katanya dan ini juga berlaku bagi orang yang tidak berbahasa arab yang ingin berbicara dengan bahasa arab. Kalau memang benar adanya maka kamus ‘asrhiyah ini harus juga memuat 9.500 kosa-kata tanpa pengulangan untuk menjadi standar teknik penerapan bahasa arab, namun dalam kenyataannya kamus ‘ashriyah mufradaatnya tidak sampai 9.500 hanya memuat sekitar 5.000 mufradaat. Seandainya anggapan itu benar maka untuk menjadi standart kamus ‘Ashriyah harus ditambah jumlah mufradatnya yang sampai pada angka tadi, tapi ada catatan mufradat bahasa arab berbeda dengan bahasa inggris, bahasa arab mempunyai Amtsilah Tasrifiyah sepuluh (perubahan bentuk dari satu kata kekata yang lain) dari fi’il madi sampai isim alat lebih banyak dibanding bahasa inggris yang hanya punya tiga perubahan bentuk saja. artinya mufradat yang ada di kamus ‘ashriyah bisa mencapai angka itu bahkan bisa lebih. Walaupun hanya berupa anggapan atau asumsi tapi asumsi ini mendekati valid (shahih) mengingat bahasa arab bukanlah bahasa ibu bagi bangsa Indonesia maka otak kita harus banyak menyerap mufradat bahasa arab untuk menguasainya dan teknik penyerapan terbaik adalah hafalan dan diterapkan. Dua hal mengahafal dan penerapan memiliki ikatan satu sama lain karena menghafal saja tidak cukup, karena tujuannya adalah bercakap-cakap menggunakan bahasa arab sehari-hari, dan percakapan tidak akan berfungsi tanpa menghafal terlebih dahulu, penerapan menjaga hafalan tetap kuat dan hafalan sebagai sarana menjalankan penerapan. Inilah yang kami maksud dengan panduan yang telah disusun secara sistematis oleh penyusun di atas, seperti yang pernah di sampaikan oleh Abuya Hasan penyusun kamus: bahwa belajar bahasa arab cukup dengan satu jam saja tapi penerpan tidak cukup seribu jam.
Sang penyusun Ad-da’I Ilallah Abuya Hasan dikenal seorang da’I yang sering berdakwah diberbagai medan dari dunia pendidikan sampai dunia kemasyarakatan beliau dikenal sebagai figure yang ramah dengan masyarakat desa terutama fakir miskin, santun bergaul dan mempunyai semangat yang kuat dalam menyampaikan dakwahnya sampai keluar pulau, dari Madura ke jawa dari jawa ke Kalimantan terutama di Pontianak. Di Pontianak beliau mendapat sambutan yang tinggi dari masyarakatnya berkat sumbangsingsih dan kesantunan dakwahnya setelah berbagai ujian beliau lalui hingga akhirnya beliau kembali ke jawa atas perintah umminya agar lebih efisien, maka beliau curahkan tenaganya dengan membangun pesantren yang beliau basisi dengan bahasa arab dan dakwah. beliau termasuk penulis yang berpengaruh ada beberapa tulisan beliau yang terkenal salah satunya kamus ini dan muhawarah bahasa arab, para penulis sepakat kalau penulis produktif sangat sulit menjadi penulis kreatif begitu juga sebaliknya, jika ditinjau dari dua hal tadi “saya” simpulkan beliau termasuk penulis kreatif yakni tidak begitu banyak membuat karangan tapi setiap karangannya dijadikan literature bahkan panduan.
Kesederhanaannya Membuat Gampang Berbahasa Arab
Sudah banyak pakar pendidikan yang melakukan pengembangan bahasa arab mulai dari universitas lembaga kursus dan lembaga pembelajaran yang berkompeten dalam bidangnya terutama pensantren sebagai tangan estafet pertama pertemuan bahasa arab dengan Indonesia namun pada kenyaataannya lembaga-lembaga tersebut belum bisa memenuhi target bahasa arab sebagai bahasa yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bahkan pesantren sebagai tulang punggungnya selama ini masih kesulitan menciptakan bi’ah percakapan bahasa arab mereka hanya lebih fokus pada teknik nahwunya saja (gramer dalam bahasa inggris) yang lebih menekankan pada teknik penulisan dan kaidah belum sampai pada praktek.
Maka tidak salah jika abuya hasan mencurahkan tenaga dan pikirannya pada bahasa arab percakapan, beliau susun caranya dan panduannya hingga akhirnya jadilah kamus asriyah. “ pertama, beliau memandang bahwasannya bahasa arab merupakan pintu untuk membuka jalan pemahaman agama, bagi yang ingin memperdalam ilmu-ilmu agama. Kedua beliua melihat bahwa bahasa arab adalah bahasa internasional yang digunakan untuk berdakwah dan berkomunikasi di luar negeri. Ketiga, karena orang-orang sudah meninggalakan bahasa arab, dan beliau menyakinkan bahwa berbicara menggunakan bahasa arab dengan niat Ittibain Nabi akan bernilai ibadah dan berbicara merupakan aktivitas terbanyak di keseharian kita kalau disertai dengan bahasa arab maka sehari-hari kita penuh dengan ibadah” (kutipan wawancara di elbashiroh edisi 16). Begitu besar beliau curahkan semuanya di bahasa arab sampai Al-Muhaddits Sayyid Muhammad Al-Maliki mengapresiasi memberikan Taqridl (kata pengantar) bahwa bahasa arab adalah pilar pertama berdakwah dijalan Allah dan paling mulianya kaidah serta dasar-dasar penyebaran islam.
Kamus ‘Ashriyah di susun oleh Abuya Hasan sesederhana mungkin sebagai pengabdiannya pada bahasa Nabi, manhaj sederhana bermuhawarah bahasa arab sesederhana mungkin hanya menghafal dan menerapkan hafalan itu sebisa mungkin sampai para pembaca menemukan sir-nya misal jika kita tidak tahu sebuah mufadat bahasa arab kita bisa menyambungnya dengan bahasa Indonesia: Uridu Ila Pasar . tidak apa-apa menggunakannya karena yang penting hanyalah pembiasaannya. Agar cita-cita kamus ini sampai pada tujuannya dan terutama harapan pengarangnya membumikan bahasa arab di bumi pertiwi ini merasa senang adalah jika orang-orang yang bernasab padanya baik yang bernasab secara ilmu apalagi yang bernasab darah dengan Abuya Hasan untuk melestarikannya.
-
Raja Dan Empat Orang Permaisuri
by Muhammad Idrus Ramli
Pada zaman dahulu ada seorang raja yang memiliki empat orang permaisuri. Namanya raja, tentu ia memilih wanita yang cantik-cantik sebagai permaisurinya. Hanya saja Sang Raja memperlakukan keempat permaisurinya secara tidak adil. Sang Raja mencintai permaisuri termudanya (yang nomor empat) sangat berlebihan. Ia pun selalu berusaha memenuhi segala kebutuhan dan permintaan permaisuri termuda ini hanya untuk memenuhi hasratnya dan meraih cintanya.
Sedangkan permaisuri ketiga, Sang Raja juga mencintainya. Hanya saja Sang Raja merasakan, bahwa permaisuri ketiga ini terkadang meninggalkannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Lain halnya dengan permaisuri kedua. Ia selalu menjadi tumpuan Sang Raja setiap menghadapi kesulitan. Ia pun selalu mendengarkan dan memperhatikan keluh kesah Sang Raja dalam setiap menghadapi kesulitan. Bahkan tidak jarang, permaisuri kedua ini seringkali terlihat merasa prihatin dengan kesulitan yang dihadapi Sang Raja, suaminya.
Sedangkan permaisuri pertama dan tertua, Sang Raja tidak pernah memperhatikannya. Hak-haknya sebagai permaisuri pun tidak pernah dipenuhi oleh suaminya. Kehidupannya terbengkalai akibat korban ketidakadilan suaminya terhadap permaisuri-permaisurinya. Padahal permaisuri pertama ini sangat mencintai Sang Raja. Dan dia pula yang berperan besar dalam menjaga kerajaannya.
Suatu saat, Sang Raja mengalami sakit keras. Ia pun merasakan bahwa ajalnya sudah di ambang pintu. Maut akan segera menjemputnya. Akhirnya Sang Raja berpikir, "Aku sekarang memiliki empat orang permaisuri. Sebentar lagi maut akan segera menjemputku. Aku tidak mungkin pergi ke alam kubur sendirian." Demikian pikiran yang menggelayut dalam benaknya.
Sang Raja memanggil permaisuri termudanya yang memang sangat dimanjanya, sehingga semua kebutuhan dan permintaannya selalu dipenuhinya. Raja berkata kepadanya, "Aku sangat mencintaimu melebihi permaisuriku yang lain. Aku telah memenuhi segala keinginan dan permintaanmu. Namun kini sepertinya ajal akan segera menjemputku. Sekarang aku bertanya kepadamu, apakah kamu rela bersamaku sebagai pendamping dan penghiburku nanti di alam kubur?" Sang permaisuri menjawab, "Ini tidak mungkin terjadi." Segera permaisuri itu meninggalkan Sang Raja yang tekulai lemas tidak berdaya itu tanpa menampakkan rasa kasih sayang sedikitpun.
Lalu Sang Raja memanggil permaisuri ketiga dan berkata kepadanya, "Aku mencintaimu seumur hidupku. Sekarang ajalku sudah diambang pintu. Bersediakah kamu menemaniku di alam kuburku nanti?" Permaisuri ketiga ini menjawab, "Tentu saja tidak. Hidup ini sangat indah. Dan setelah kematianmu, aku akan segera pergi dan menikah dengan laki-laki lain."
Lalu Sang Raja memanggil permaisuri kedua dan berkata kepadanya, "Selama hidupku aku selalu mengadu dan mengeluh kepadamu dalam setiap kesulitan yang aku hadapi. Telah begitu banyak pengorbananmu untukku. Dan selama ini kamu selalu setia membantuku. Sekarang aku akan bertanya kepadamu, bersediakah kamu menemaniku di alam kubur nanti?" Dengan penuh perhatian dan lemah lembut, permaisuri ini menjawab, "Maafkan aku suamiku. Aku tidak mungkin memenuhi permintaanmu. Aku hanya bisa mengantarmu nanti sampai ke keburmu."
Setelah mendengar penolakan ketiga permaisurinya untuk menemaninya di alam kubur nanti, akhirnya Sang Raja merasa susah dan bersedih hati menghadapi detik-detik kematiannya. Tiba-tiba ia mendengar suara dari kejauhan berkata kepadanya, "Aku siap menemanimu di alam kuburmu nanti. Aku akan selalu bersamamu kemana pun kamu pergi." Sang Raja melihat ke arah suara itu. Ternyata ia permaisuri pertamanya yang sudah kurus kering dan sakit-sakitan karena tidak pernah diperhatikan oleh Sang Raja, suaminya. Akhirnya Sang Raja merasa menyesal telah menelantarkan permaisuri pertama tersebut selama hidupnya. Sang Raja berkata, "Seharusnya selama ini aku memperhatikanmu melebihi permaisuriku yang lain. Seandainya masa lalu dapat kembali lagi kepadaku, tentu kamu akan menjadi permaisuriku yang paling aku perhatikan melebihi permaisuriku yang lain, karena pada saat-saat seperti ini, hanya kamu yang siap menyertaiku ke mana pun aku pergi." Demikian Raja itu berkata kepada permaisuri pertamanya yang telah kurus kering dan sakit-sakitan akibat ketidakadilannya.
Sebenarnya kita juga memiliki empat orang permaisuri. Permaisuri keempat adalah jasad kita. Bagaimanapun perhatian yang kita berikan terhadapnya, kita penuhi segala nafsu dan syahwatnya, jasad kita akan meninggalkan kita begitu kita meninggal dunia.
Ketiga adalah kekayaan dan harta benda. Ketika kita meninggal, kekayaan dan harta benda kita akan meninggalkan kita dan segera menjadi milik orang lain.
Kedua, keluarga dan teman. Berapa pun besar pengorbanan mereka kepada kita selama kita hidup, kita tidak dapat berharap kepada mereka ketika kita meninggal dunia, kecuali tidak lebih dari mengantarkan kita ke alam kubur.
Pertama, jiwa (ruh) dan hati. Kita tidak pernah memperhatikan jiwa dan hati. Selama ini kesibukan kita hanya untuk memenuhi syahwat kita sendiri, mengumpulkan harta dan memuaskan keluarga dan teman, padahal jiwa dan hati kita saja yang akan tetap menyertai kita nanti di alam kubur.
(Diterjemahkan dari http:cb.rayaheen.net).
-
Pondok Pesantren Darus Salam Surabaya
Ibu kota surabaya yang kita kenal dengan keramaian dan hiruk pikuk perkotaan yang di sebut-sebut sebagai metropolitan kedua di negara kita, ternyata tidak mengharuskannya sepi dari dunia pesantren yang selama ini dianggap sebagai koloni sarungan, ketinggalan zaman, yang serasa tidak sesuai dengan kehidupan perkotaan seperti Surabaya. bukti riil dari hal tersebut adalah banyaknya pondok-pondok pesantren di berbagai sudut kota Surabaya yang sampai sekarang masih eksis mempertahankan aqidah yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, yaitu aqidah ahlussunnah wal jamaah. Di antara pondok-pondok tersebut adalah Pondok Pesantren Darussalam yang terletak di desa Tambak Madu 2/59 Surabaya.
Pondok Darussalam adalah salah satu pondok yang dibangun dengan kualitas keikhlasan yang spesial oleh Ust. H. Noer Ahmad yang diperintah langsung oleh Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki. K.H. Noer Ahmad adalah saudagar kaya yang dikenal sebagai sosok yang dermawan, Muhibbin Habaib dan Ahlul Ilim, yang dengan sikapnya inilah beliau memiliki hubungan dekat dengan para Habaib dan kyai-kyai yang ada di Jawa timur sampai akhirnya beliau mendapat perintah dari Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki untuk mendirikan pesantren yang saat itu masih berupa langgar kecil (surau). Secara resmi pondok ini didirikan pada tanggal 15 Syawwal 1402 H yang bertepatan pada tanggal 5 Agustus 1982 M dengan didanai langsung oleh K.H Noer Ahmad yang di bantu oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki di bawah pimpinan putra K.H Noer Ahmad (K.H Muhyiddin Noer).
K.H Muhyiddin Noer di saat itu adalah sosok pemuda yang memiliki semangat yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu agama. Hal itu dapat dilihat dari sepak terjang beliau sebelum memimpin Pondok Pesantren Darussalam. Beliau pernah menjadi salah satu santri di P.P Salafiyah Syafiiyah Asem Bagus Sukerejo yang saat itu di pimpin oleh K.H.R. As’ad Syamsul Arifin yang kemudian melanjutkan pendidikannya kepada Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki di Mekkah Al-Mukarromah. Setelah berlalu kurang lebih selama 4 tahun 7 bulan K.H Muhyiddin Noer pulang ke Indonesia untuk memimpin Pondok Pesantren Darussalam atas perintah Sayyid Muhammad.
Secara geografis P.P Darussalam terletak di kawasan yang sebagian besar masyarakatnya beragama Nasrani. Struktur-struktur Nasrani yang berada di sekitar P.P Darussalam yang sampai sekarang masih ada, mulai dari struktur ibadah sampai pendidikan menunjukkan eksistensi mereka di kawasan tersebut. kegiatan-kegiatan mereka di antaranya adalah ibadah rutinitas ummat Nasrani di gereja-gereja dan pelajar-pelajar Nasrani yang belajar di lembaga-lembaga Nasrani yang berada di sekitar pondok. Tetapi dengan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam lambat laun dapat meminimalisir aktifitas-aktifitas tersebut.
Dalam catatan sejarah kepemimpinan K.H Muhyiddin,beliau banyak sekali menemui berbagai macam halangan dan hambatan, di antaranya adalah sihir yang beberapa kali beliau dapatkan. Pernah satu ketika beliau sakit parah dikarenakan sihir dari salah seorang yang tidak menyukai beliau, akan tetapi dengan kelembutan hati dan sifat pemaaf yang beliau miliki, beliau tidak mau membalas perbuatan tersebut walaupun beliau mengetahui sang pelaku. Selain kelembutan hati dan sifat pemaaf yang dimiliki beliau, beliau juga di kenal sebagai sosok yang pemberani dalam membasmi kemungkaran seperti perjudian, minuman keras dan lain sebagainya, bahkan pernah satu ketikabeliau membawa sebilah pedang kepada kumpulan orang-orang yang sedang bermain judi dan memerintahkan mereka untuk berhenti seraya berkata “Siapa yang tidak terima dengan perbuatan saya ini silahkan maju, kalau tidak berani kalian kumpulkan semua teman kalian dan tentukan tempatnya di mana, Insya’ Allah saya akan datang”.Tetapi tidak ada satu orangpun yang berani menjawab tantangan beliau.
Seiring dengan berlalunya waktu, pondok ini terus berkembang sehingga menjelma menjadi satu media pendidikan bagi ummat islam yang di lengkapi dengan pendidikan formal. Namun di saat pondok ini mengalami kemajuan yang pesat K.H Muhyiddin berpulang kerahmatulloh yang kemudian digantikan oleh menantu kesayangannya yaitu K.H Muhammad Zubair yang kebetulan alumnus PP Darussalam dan Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki.Kalau K.H Muhyiddin di kenal dengan sosok yang memiliki semangat da’wah yang menggebu-gebu beda halnya dengan sosok penerusnya K.H Muhammad Zubair yang lebih cendrung dengan sifat toleransi yang di milikinya. Memang dampak dari pergantian kepemimpinan mempengaruhi kuntitas santri Darussalam, namun keadaan tersebut berangsur-angsur membaik sehingga sampai sekarang.Dari sejak berdirinya Ponpes Darussalam sampai sekarang telah banyak melahirkan icon-icon yang mampu berperan di masyarakat dengan berbagai peranan mereka masing-masing.
Secara garis besar santri-santri yang belajar di Ponpes Darussalam tergolong dari masyarakat kurang mampu yang berasal dari berbagai kota di pulau jawa seperti Jakarta, solo, Madura, Surabaya dan lain-lain, bahkan karena masalah inilah pihak pengurus Ponpes Darussalam tidak membebani santri atau siswa yang belajar di ponpes Darussalam dengan biaya pendidikan yang tinggi. Untuk pendaftaran cuma membutuhkan uang sebesar Rp.350.000 dengan uang bulanan sebesar Rp.50.000. Selain di kenal dengan pendidikan agamanya yang mumpuni, Ponpes Darussalam juga memiliki pendidikan formal mulai dari jenjang Ibtidaiyah (SD) sampai Madrasah Aliyah (SMA) yang tidak kalah saingnya dengan pendidikan formal lainnya.Santri-santri yang belajar di Ponpes Darussalam tidak semuanya bermukim di asrama Ponpes di karenakan kurangnya asrama yang ada, bahkan karena masalah inilah pihak pondok menolak santri yang datang dari luar jawa.
Adapun metode belajar yang di gunakan di Ponpes Darussalam tetap mengacu pada metode ulama-ulama salaf yaitu dengan menghatamkan satu kitab kemudian pindah ke kitab yang lainnya. Adapun keinginan pimpinan Ponpes Darussalam dari santri-santri yang belajar adalah mengamalkan ilmunya dan dicintai oleh Allah dan Rosulnya.
-
Ma'haduna edisi Shofar 1432 H
Tamu Dari Negeri Seribu Wali
Alhabib Abdurahman bin Ali Masyhur bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim
Tak lama setelah lawatan pertama syeh Said Ahmad Inayatullah dari Haramain As-Syarifain, kini ponpes Dalwa kembali mendapat kehormatan menyambut tamu agung dari Yaman Al-Habib Abdurahman bin Ali Masyhur bin Hafidz BSA, keponakan dari Al-Habib Umar Bin Hafidz BSA.
Pada tanggal 13 Desember tamu tersebut datang didampingi Al-Habib Achmad Jamal bin Thoha Ba’agil, salah satu alumnus Darul Mustofa Tarim Hadramaut, dan penggerak shalawat di Bumi Apel, Malang. Beliau sekaligus bertindak sebagai penerjemah taujihat yang disampaikan oleh Al-Habib Abdurahman.
Dalam pidatonya Al Habib Abdurahman menyampaikan bagaimana selayaknya penuntut ilmu berperilaku dan mengamalkan ilmunya tersebut, berbesar hati dan bersabar selama bertahun-tahun dalam menuntut ilmu karena itu tak lain untuk mendapatkan ilmu semata. Imam Syafii berkata:
اخي لن تنال العلم الا بستةا
ساْ نبيك عن تفصيلها ببيان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة
وصحبة الاستاذ وطول زمان
Semoga dengan seringnya kita mendapat kunjungan tamu-tamu mulia dari Timur Tengah, Allah SWT membukakan kepada kita cahaya ilmu yang bermanfaat, bisa meneruskan misi Rasulullah SAW, dan menggapai kebahagian baik di dunia serta di akherat kelak. Amin
Kunjungan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) di
PP. Darullughah Wadda’wah
Ahad, 19 Desember 2010M/13 Muharam 1432H ketua umum FPI (front pembela islam) pusat al Habib Riziq bin Syihab melakukan kunjungan silaturahmi di pon-pes Darullughah Wadda’wah Raci Bangil Pasuruan.
Rombongan yang ditemani oleh Al Habib Abdurahman Bahlega Assegaf langsung, memasuki pon-pes Darullughah Wadda’wah dan menuju ke masjid Baitul Ghoffar untuk melakukan tatap muka dan memberikan taujihat kepada para santri.
Dalam taujihatnya yang berapi-api sebagaimana ciri khas beliau, Habib Rizieq menginformasikan akan kaum orentalis barat dengan pergerakan obsidentalisnya sedang gencar-gencar menyebarkan virus yang sangat berbahaya di Indonesia ini.
Virus-virus tersebut antara lain: relativisme (aliran yang percaya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak), skeptitisme (aliran yang meragukan adanya kebenaran), dan aliran-aliran lain yang sudah tidak asing lagi di Indonesia seperti liberalisme, sekularisme, bahkan atheisme.
Semoga kita semua dapat terhindar dari virus-virus tersebut yang dapat menghancurkan aqidah kita. Dan semoga dengan ilmu-ilmu agama yang saat ini sedang kita timba dapat membawa kita menjadi pejuang Islam yang dapa tmembendung aliran-aliran sesat itu. Amin.
-
WANITA DI MASA DEPAN
Oleh : Ira Nurbani,S.Sos.I
Pertumbuhan generasi suatu bangsa pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu memiliki peranan yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Mengajari mereka kalimat Tahlil, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al-Qur’an dan As- Sunnah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al-Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah kepada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlaq-akhlaq yang mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggungjawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tahu bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh keteladanan dan kesabaran untuk membiasakannya. Itulah tugas berat seorang ibu.
Hari ini adalah saat kita menanam benih dan masa depan adalah waktu untuk memanen. Karena itu siapa pun yang ingin tahu masa depannya, maka lihatlah apa yang dilakukannya sekarang. Orang paling rugi di dunia ini orang yang diberikan modal tapi modal itu ia hamburkan sia-sia. Dan modal termahal dalam hidup adalah waktu. Ada tiga jenis waktu. Pertama, masa lalu. Ia sudah lewat, sehingga ada diluar kontrol kita. Banyak orang sengsara hari ini gara-gara masa lalunya yang memalukan. Karena itu, kita harus selalu waspada jangan sampai masa lalu merusak hari kita. Kedua, masa depan. Kita sering panik menghadapi masa depan. Tanah kian mahal, pekerjaan semakin sulit, dan lainnya. Walau demikian, masa lalu dan masa depan kuncinya adalah hari ini. Inilah bentuk waktu yang ketiga. Seburuk apapun masa lalu kita, kalau hari ini kita benar-benar bertaubat dan memperbaiki diri, insyaAllah semua keburukan itu akan terhapuskan. Demikian pula dengan masa datang. Maka sungguh mengherankan melihat orang yang bercita-cita tapi tidak melakukan apapun untuk meraihnya. Padahal hari ini adalah saat kita menanam benih, dan masa depan adalah waktu untuk memanen. Karena itu, siapapun yang ingin tahu masa depannya, maka lihatlah apa yang dilakukannya sekarang.
Pada zaman Jahiliyyah, kaum wanita menempati kedudukan yang terendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arabia pra-Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya, demikian pula mereka gampang saja menceraikan sesuka hatinya. Bilamana seorang ayah diberitahukan atas kelahiran seorang anak perempuan, seketika wajahnya berubah pasi lantaran malu, terkadang mereka tega menguburkan bayi perempuan hidup-hidup. Mereka kebanyakkan membunuhnya lantaran rasa malu dan khawatir bahwa anak perempuan hanya akan menimbulkan kemiskinan. Kondisi semacam ini dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59)
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda bahwa kelak di akhirat penghuni neraka mayoritas adalah kaum wanita. Oleh karena itu, berlombalah dalam kebaikkan wahai seluruh umat manusia khususnya kaum wanita dan berlombalah mencari ridho Allah. Mengapa kaum wanita? Karena kaum wanitalah yang paling banyak melakukan dosa seperti misalnya tidak bisa menjaga kehormatannya, berkata kasar dan kurang sopan kepada orangtua dan suami serta berbagai macam maksiat duniawi lainnya. Yang harus dilakukan oleh kaum wanita saat ini adalah berbuat baik pada diri sendiri, keluarga, agama serta negaranya. Yang paling pokok untuk menjadikan wanita sebagai penghuni surga adalah taat pada orangtua dan suami serta mendirikan sholat lima waktu dan pandai menjaga amanah suami terutama ketika suami tidak berada di rumah baik menjaga kehormatannya maupun menjaga hartanya dan suami.
Kita tentu membayangkan, alangkah indah dan bahagia bila kita sebagai istri masuk surga bersama suami atau sebagai suami masuk surga bersama istri. Bisa bernostalgia kembali di suatu suasana yang ceria tiada terkira. Suatu kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas di hati seorangpun di dunia. Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita semua merealisasikan bayangan indah ini. Di surga memang telah disediakan bidadari-bidadari. Beberapa riwayat hadits menyatakan, orang yang masuk surga disediakan setidak-tidaknya dua bidadari hingga 72 bidadari atau lebih sebagai pasangan suami atau istrinya. Tetapi, kebersamaan dengan bidadari tentu tidak bisa mengalahkan kebersamaan di surga dengan istri atau suami sendiri sewaktu di dunia dahulu. Berkumpul dengan bidadari di surga adalah kenikmatan. Tetapi, berkumpul kembali di surga dengan suami atau istri sendiri di dunia dulu tentu jauh lebih nikmat lagi. Mereka akan menjadi pasangan-pasangan yang disucikan dari haid, kotoran mata dan hidung, ketidakperawanan, ketuaan, lemah syahwat serta dari berbagai kelemahan dan kekurangan lainnya. Ummu Salamah radhiyallahu’anha pernah bertanya kepada suami beliau, Baginda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam:”Wahai Rasulullah, apakah wanita-wanita dunia (yang masuk surga) lebih utama ataukah bidadari?” Beliau menjawab:”Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari laksana lebih utamanya lahir atas bathin.” “Mengapa Ya Rasulullah?” “Itu karena sholat dan puasa yang dilakukan wanita-wanita dunia kepada Allah Azza wa Jalla.” Demikian diceritakan oleh Ath-Thabarani. Sayyidah Aisyah radhiyallahu’anha menegaskan bahwa wanita-wanita dunia yang masuk surga akan mengalahkan para bidadari. Kepada para bidadari, wanita dunia menyatakan,”Kami sholat sedang kalian tidak sholat. Kami berpuasa sedang kalian tidak berpuasa. Kami berwudhu dan kalian tidak. Kami bersedekah dan kalian tidak.” Demikian diceritakan oleh Al-Qurthubi. Diriwayatkan pula bahwa wanita-wanita Bani Adam lebih utama tujuhpuluh ribu kalilipat daripada para bidadari. Demikianlah, betapa nikmat, indah, dan bahagia bisa berkumpul kembali dengan suami atau istri di surga nanti.
Allah menciptakan manusia terbagi menjadi dua yaitu wanita dan pria. Adanya pria tidak lengkap tanpa adanya wanita, demikian juga adanya wanita menjadi tidak berarti tanpa kehadiran pria. Adanya wanita memang dipersiapkan untuk melengkapi jalannya sebuah rumah tangga baik menjadi istri sholichah maupun menjadi seorang ibu yang bijaksana. Menjadi istri sholichah tidaklah mudah, yaitu harus melaksanakan tiga syarat antara lain mendirikan sholat lima waktu dan taat pada perintah suami dan orang tua baik orangtua kandung maupun mertuanya. Demikian pula menjadi seorang ibu yang bijaksana harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya baik perkataan maupun perbuatannya.
Ada peran besar yang harus dimainkan perempuan muslimah untuk kebaikan diri dan umat secara keseluruhan, yaitu peran pembangunan peradaban. Peran peradaban yang harus ditunaikan oleh para akhwat muslimah, diantaranya adalah melahirkan dan mendidik generasi berkualitas, terlibat dalam urusan sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, juga menunaikan kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Mereka adalah pelaku aktif dalam aktivitas kontemporer di masa sekarang, namun juga pewaris nilai-nilai kebaikkan bagi generasi yang akan datang.
Proses pewarisan nilai kepada generasi baru, senantiasa memerlukan keshalehan pelakunya. Artinya, untuk melahirkan sebuah generasi yang unggul dan berkualitas, memerlukan sosok ibu yang berkualitas pula. Para ibu inilah yang akan sanggup melakukan pewarisan nilai-nilai kebaikkan secara generatif kepada anak-anaknya. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menafikan peran bapak bagi anak-anaknya. Tuntutan dalam Islam, perempuan sholichah adalah pasangan bagi laki-laki shaleh. Artinya, pada saat Islam menghendaki perempuan menjadi sholichah, adalah tuntutan yang sama terhadap laki-laki agar menjadi shaleh. Ibu sholichah akan kesulitan melakukan peran pembinaan generasi, apabila tidak didukung oleh bapak yang shaleh. Para ibu tidak akan menjadi sholichah secara tiba-tiba, kendati fitrah manusia lebih mengarahkan kepada kebaikkan. Penggerusan nilai-nilai kebaikkan bisa terjadi setiap waktu lewat media informasi. Untuk itulah diperlukan sebuah tarbiyah yang menghantarkan para ibu siap melahirkan dan mendidik generasi dengan baik, sehingga terbentuklah generasi masa depan yang diharapkan Islam. Marilah sejenak kita lihat kondisi masyarakat kita. Kenakalan bukan lagi melibatkan pemuda atau remaja. Kni, anak-anak telah dilibatkan atau terlibat dalam sejumlah kejahatan. Sejak kejahatan seksual, yang dilakukan oleh para pemilik kapital, dengan jalan menjual gadis-gadis dibawah umur menjadi pelacur. Ada pula kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak-anak dalam bentuk perkosaan atau pelecehan seksual, yang disebabkan oleh kebiasaan melihat film porno. Ada kejahatan kriminal, dimana anak-anak terlibat tindak penipuan dan pencurian. Ada kejahatan moral dalam bentuk kecanduan miras dan narkoba sejak anak-anak. Dimanakah peran para pendidik generasi dalam kejadian kejahatan oleh anak-anak atau remaja tersebut? Adakah ibu-ibu yang sholichah dan bapak yang saleh mencetak anak-anak yang memenuhi jadwal hidupnya dengan permasalahan dan kejahatan? Cukupkah kita menyalahkan sistem dan masyarakat sebagai biang keladi munculnya kenakalan dan kejahatan pada anak-anak? Ibu yang mengandung dan melahirkan, adalah pihak yang amat dekat secara emosional dengan anak-anak. Apabila kesadaran pewarisan nilai dimiliki oleh para ibu sholichah, ia akan memantau perkembangan anak sehingga mampu mendeteksi kecenderungan yang terjadi pada anak-anaknya. Kehangatan kasih sayang didalam rumah tangga, tidak akan melahirakn pemberontakan yang diekspresikan lewat berbagai penyimpangan. Anak-anak akan cenderung memiliki sikap yang hangat dan bersahabat pula dengan keluarga. Peran tarbiyah seorang ibu menjadi sangat berarti dalam masalah ini.
Seorang ibu yang sholicah harus mampu menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Terutama, ketika dirinya hendak melakukan suatu perbuatan yang otomatis diketahui dan dilihat oleh anak-anaknya. Perbuatan dan perkataan yang dilakukan dan diucapkan seorang ibu sholichah yang nantinya ditiru dan diikuti oleh anak-anaknya. Misalnya, ketika seorang ibu hendak mendirikan sholat lima waktu, doronglah dirinya sendiri untuk mendirikan sholat baru kemudian ajaklah anak-anak dan anggota keluarga lainnya untuk mendirikannya. Dengan begitu, perilaku dan perkataan dari seorang ibu yang sholichah menjadi cerminan perilaku dan perkataan anak-anak di masa depannya. Wallahu ‘a’lam bis sowab..
-
cerpen edisi shofar
cerpen
-
Rasio Menggugat kebenaran Akidah, Waspadai kebangkitan Mu'tazilah
Mu’tazilah hidup lagi! Sebuah aliran klasik yang mengedepankan rasio sebagai metode dalam menyelami dan memahami aqidah islam dan banyak mengadopsi pemikiran filsafat Yunani kini muncul dalam rupa dan wajah baru. Paham yang memiliki basis fundamentalis yang kuat dan dahulu dibantah dan diperangi oleh al-Ghazali di eranya kini mendapatkan pengikut para intelektual muda muslim di Indonesia dan mulai mendapat tempat terutama di wilayah akademis. Seakan tak mau kalah dengan masyarakat awam, kaum akademispun ikut serta memberikan sumbangsih inovasi pemikiran yang mendobrak pemikiran aksiomatif yang telah berumur ratusan tahun.
Kholif Tu’rof! Nyelenehlah kamu akan terkenal. Mungkin terinspirasi dari adagium arab inilah sekelompok mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di bandung “menciptakan” sebuah inovasi baru yang mereka sebut sebagai kawasan anti tuhan. Kawasan dimana hal-hal yang berbau agama dan religius ini disingkirkan bahkan diinjak-injak, hanyalah representasi kecil dari sekian banyak indikasi mewabahnya penyakit sepilis yang semakin meluas di kalangan generasi intelektual muda kaum muslimin. Jika kita analogikan dengan dunia kedokteran, maka penyakit sepilis ini merupakan bentuk implikatif dari virus-virus filosofis yang disebarkan oleh orientalis-orientalis dari kalangan musuh-musuh islam.
Yang lebih riskan, virus-virus tersebut justru ditebarkan secara sporadis di perguruan-perguruan tinggi islam yang memegang peranan cukup krusial dalam mencetak generasi-generasi muda bangsa ini. Kurikulum perguruan tinggi yang telah disusun secara sistematis dan diakui kualitasnya, terbukti gagal dalam melindungi peserta didiknya dari hegemoni pemikiran barat modern maupun pos-modern yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan metode pemikiran yang telah diakui validitasnya oleh ulama-ulama klasik maupun kontemporer. Melalui kuliah-kuliah yang disampaikan oleh dosen-dosen opsidentalis, proses infiltrasi virus-virus tersebut dilakukan secara halus terhadap peserta didik dengan dalih demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ditambah lagi dengan kultur negatif bangsa kita yang mudah kaget dan terpengaruh dengan budaya baru merupakan jalan tol masuknya virus-virus tersebut dan berhasil merenggut banyak korban dari peserta didik. Virus- virus tersebut adalah skeptisisme, relativisme dan adnotisime yang berakibat pada munculnya wabah sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Yang jika hal ini dibiarkan terus tak menutup kemungkinan akan mencapai stadium yang lebih akut berupa neo-atheisme atau komunis model baru.
Dalam filosof kedokteran, sebuah penyakit selalu disertai dengan virus atau penyebab yang mendahuluinya. Untuk membasmi penyakit tersebut harus dilakukan dengan membasmi virus-virus tersebut. Bertolak dari hal ini, untuk dapat membasmi wabah sepilis tersebut harus terlebih dahulu kita mengenal klarifikasi virus-virus tersebut yang merupakan substansi dari wabah tersebut berikut dampak penyakit yang ditimbulkan. Dengan mengetahui kerancuan-kerancuan substansi wabah tersebut, maka ideologi yang dibangun diatasnya akan runtuh dengan sendirinya karena fondasinya yang lemah dan runtuh terlebih dahulu. Jadi seperti efek kartu domino, ketika penyangganya roboh maka yang lain akan ikut roboh semua.
Virus pertama adalah virus relativisme, virus yang diprakarsai oleh para sophist (shufastho’iyyah) ini akan membawa korbannya untuk tidak meyakini kebenaran mutlak, gejala awal orang yang terjangkit penyakit ini adalah sikap anti otoritas. Mereka beranggapan bahwa yang bersifat absolut hanyala tuhan, selain tuhan adalah relatif. Aromanya seperti islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontology, selain tuhan adalah relatif (mumkinul wujud), namun ternyata dibawa pada persoalan epistemology. Al qur’an yang diturunkan dalam bahasa manusia (arab), hadis yang disabdakan nabi, ijtihad dan konsesus ulama dan sebagainya hanyala relatif belaka dan tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam waktu dan ruang manusia yang menyejarah. Pada tahapan berikutnya, orang tersebut akan menolak otoritas islam sebagai agama yang absolut dan akan berasumsi bahwa semua agama adalah sama dengan tendensi bahwa semua agama menyeru kepada kebaikan. Inilah yang disebut dengan penyakit sekularisme.
Setelah persepsi bahwasanya semua agama sama mulai merasuk dan daya tahan akidah korban mulai melemah karena virus relativisme, berikutnya mulai masuk virus yang dinamakan skeptisisme. Pada tahapan ini korban mulai bersikap skeptis (ragu) terhadap ajaran agama yang dianutnya. Agama dianggap tidak lagi mampu mengakomodir problematika manusia yang semakin kompleks. Mobilitas agama hanya terbatas di ranah ceremony ritual (ibadah), di luar itu agama tidak memiliki otoritas untuk menyentuhnya, termasuk dalam konteks politik dan hukum. Negara teokrasi akan disingkirkan karena dianggap akan menghambat kemajuan dan liberalisasi pemikiran. Seperti yang terjadi di eropa masa renaissance dan di kekhalifahan Turki yang dipelopori oleh Mustofa Kemal Pasha. Hukum Allah akan dianggap kejam karena dianggap paradoks dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Amar ma’ruf hanya dilakukan di masjid saat khutbah jum’at. Sedangkan nahi munkar yang belum mendapat legitimasi hukum dari pemerintah akan dicap sebagai tindak kriminal bahkan kudeta terhadap pemerintah.
Fenomena seperti ini sebenarnya hanyalah reka ulang (replay) dari apa yang pernah menimpa barat post-modern. Pemikiran-pemikiran seperti ini pernah membuat barat babak belur. Agama barat (Kristen) dianggap lawan dari ilmu pengetahuan, sebab realitanya doktrin-doktrin Bible (Kitab Suci Injil, yang merupakan landasan utama agama Kristen, seperti posisi al-Quran dalam Islam) memang berselisih dan berbeda dengan ilmu pengetahuan (sains) sebagaimana terjadi dalam kasus perbedaan persepsi dalam bentuk bumi yang bundar yang mengakibatkan vonis mati atas Gallileo. Akibatnya, gereja tak lagi memiliki pengaruh karena dianggap bukan sebagai otoritas agama. Tokoh agama tidak lagi memiliki wibawa karena dianggap bukan sebagai otoritas (mengenai) Tuhan. Bibel tidak lagi kredibel karena dinilai bukan otoritas kebenaran. Bahkan Tuhanpun tak lagi dianggap maha kuasa, karena otoritasnya dinilai kadaluarsa. Inilah imbas dari sekularisme yang siap mereduksi vokalitas ajaran agama bahkan akidah dalam kehidupan bangsa kita. Yang lebih riskan, ternyata wabah sekularisme ini tidak hanya menjangkit pelajar dari instansi pendidikan sekuler saja, tetapi juga menyerap sebagian lembaga pendidikan konservatif di negara kita. Sebab jika dilihat dari esensi sekularisme, bukan hanya mereka yang menafikan posisi agama dalam hal keduniaan saja yang disebut sekularisme, tetapi juga mereka yang menafikan peran dunia dalam hal keagamaan. Dampak negatifnyapun tidak kalah berbahaya, seperti munculnya fatwa error yang merupakan implikasi dari kekurangtahuan oknum yang mengeluarkan fatwa. Sedangkan dalam spektrum yang lebih luas adalah minimnya jumlah masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah agama bahkan dapat dikatakan nihil, sehingga proses sekularisasipun semakin merajalela.
Virus terakhir adalah adnotisisme, virus ini merupakan virus yang paling berbahaya dibanding dengan virus-virus sebelumnya. Jika kita komparasikan dengan imbas dari virus-virus sebelumnya, penyakit yang dibawanya adalah penyakit berstadium akut. Sebab jika korban dari virus-virus sebelumnya “hanya” meragukan otoritas agama dan perannya dalam kehidupan kita, virus ini akan memaksa seseorang untuk bersikap apriori terhadap agama. Bahkan tidak jarang korban mulai berani menjadikan agama sebagai obyek apresiasi rasio dan hawa nafsunya sehingga agama menjadi jajahan dan dikendalikan oleh manusia. Virus inilah yang membidani lahirnya penyakit liberalisme yang saat ini tengah santer di perguruan-perguruan tinggi (Islam) terutama dari kalangan intelektual muda. Sesuai namanya, isme yang satu ini mengajarkan kebebasan di segala sektor termasuk kebebasan dalam pemikiran dan berapresiasi. Ini adalah salah satu tren pemikiran yang berkembang dan menghegemoni Barat saat ini. Di Barat, kebebasan sebagai kebebasan yang seluas-luasanya yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas agama dan metodologi yang telah digariskan bertahan selama ratusan tahun.
Corak pemikiran inilah yang menjadi cara berfikir muslim modernis. Inilah representasi utuh model pemikiran dari barat post modern sebagai lanjutan dari barat modern. Naifnya, pemikiran post modern ini justru melahirkan para mufassir yang anti tafsir, kritikus hadist yang anti hadist, pengkaji fiqih yang anti fiqih dan seterusnya. Tentu saja corak pemikiran ini berbeda dengan apa yang difahami dan diaplikasikan oleh para ulama islam selama ratusan tahun sejak periode sahabat hingga saat ini. Seperti statemen yang dinyatakan oleh Nasr Hamid Abu Yazid bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (Muntajuts-Tsaqofi) dan sekaligus produsen budaya (Muntijuts-Tsaqofi). Adapun al-Quran yang mutlaq Kalamullah adalah yang berada di lauh mahfudz saja. Ada pula yang berani menginjak Ismul Jalalah dengan berdalih bahwa yang diinjak “hanya” tulisan saja. Ada pula yang mengatakan bahwa akhirat tidak kekal, tidak ada adzab kubur, Nabi Adam dilahirkan dan sebagainya seperti pendapat Agus Musthofa. Tentu saja ini akan memerangkap agama ke dalam petaka kehancuran baik secara konsep maupun penerapan. Karena rasio tiap orang berbeda maka imbasnya islam sebagai konsep dan penerapan akan berbeda sesuai dengan kecenderungan pemikiran masing-masing orang dan apresiasi mereka terhadap rasionalitas. Dalam statemen Nasr Hamid misalnya, akan tercipta pemahaman keislaman versi Nasr Hamid.
Keterbatasan akal manusia dalam menalar kebenaran semakin terlihat melalui perbedaan hasil pemikiran mereka ketika berusaha mencapai kebenaran. Ranah ideologi agama merupakan ajaran sakral yang bermula dari tuhan sebagai otoritas tunggal, bukan mainan yang bisa diotak-atik sesukanya oleh logika dan rasio manusia.
Ahmad Syarwani, Amiruddin Fahmi
-
Al-Habib Abdulloh bin Abdurrahman Mulachela Al-Alawy
Kecerdasan habib yang dikenal tawadhu’ ini telah membuat guru beliau, Abuya As-Sayyid Hasan Baharun, mengajukan namanya untuk menimba ilmu di bawah asuhan langsung As-Sayyid Muhammad Al-Maliki
Al-Habib Abdulloh bin Abdurrahman Mulachela Al-Alawy di lahirkan di kota apel,tepatnya di daerah Talun kota malang, pada tanggal 25 Mei 1965. Beliau adalah anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Al-Habib Abdurrahman Bin Abdulloh Mulachela dengan Syarifah Salmah binti Muhammad Bafaqih.Sejak kecil Beliau di didik dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai religi sehingga membentuk pribadi yang berkualitas dalam Agama.Sifat-sifat terpuji sudah terlihat tatkala beliau masih kecil, sebagai wujud Birrul walidaiyn beliau giat membantu orang tua dengan memproduksi dupa.Selain di kenal dengan sifat leadership yang beliau miliki sejak kecil beliau juga di kenal sebagai karakter yang memiliki perhatian plus terhadap ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum, hal itu terbukti dari historis pendidikan yang beliau lalui mulai dari jenjang Ibtidaiyah (SD) sampai Tsanawiyah (SMP), semua jenjang pendidikan tersebut beliau tempuh dengan catatan prestasi yang mengagumkan, tidak hanya itu selain sebagai siswa yang berkualitas beliau juga di kenal sebagai santri yang memiliki semangat belajar dan inteligensi di atas rata-rata. Setelah beliau menyelesaikan pendidikan formalnya di SMP 6 Kota Malang, beliau melanjutkat pendidikannya di PP Darullughah Wadda’wah Bangil Pasuruan selama kurang lebih dua tahun, selama beliau berada di PP Darullughah Wadda’wah beliau tegolong salah satu santri yang memiliki pemahaman yang lebih, dengan kelebihan inilah beliau mendapat perintah dari Al-Habib Hasan Bin Ahmad Baharun untuk melanjutkan pendidikan agamanya di kota Mekah Al-Mukarromah kepada Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki selama tujuh tahun. Dengan bekal semangat belajar dan ilmu yang beliau miliki sejak beliau menjadi santri di Indonesia beliau tidak terlalu kesulitan untuk beradaptasi dengan Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki yang di kenal memiliki kesamaan dengan guru beliau sewaktu di Indonesia Al-Habib Hasan bin Ahmad Baharun.Sehingga kedua sosok guru inilah yang menjadikannya seorang tokoh Ulama yang bijak dan tegas dalam menyikapi permasalahan-permasalahan.Selama di Mekkah beliau tidak hanya menimba ilmu pengetahuan tapi juga berkhidmad kepada sang guru sampai suatu ketika beliau ditugasi mengurusi kamar mandi dan menguncinya setelah santri-santri yang lain selesai menggunakannya di waktu yang larut malam. Selain itu beliau juga di berikan amanat untuk menjaga pintu gerbang dan membukakannya setiap kali ada yang masuk. Semua tugas itu beliau laksanakan dengan penuh semangat dan penuh tanggung jawab.
Rasa cinta beliau terhadap sang guru benar-benar telah menjadikan beliau sebagai sosok yang sangat mengedepankan ilmu dan pengamalannya dalam kehidupan. Hal ini terlihat dari kedekatannya dengan sang guru baik di dalam majelis ilmu maupun dalam waktu rohah (santai).Suatu hari beliau dan santri yang lain menerima tamu besar dari Kerajaan Saudi yang menitipkan sebuah koper agar diberikan kepada sang guru lalu merekapun memberikan koper tersebut kepada guru. Tatkala kopernya di buka ternyata isinya adalah uang. Kemudian sang guru meletakkan uang tersebut di lantai dan menginjaknya. Seketika itu juga santri-santri merasa heran dengan tindakan sang guru. Lalu dengan tegas sang guru berkata “Hendaklah kalian meletakkan dunia (Uang) di bawah kaki kalian dan janganlah kalian meletakkan dunia (Uang) di atas kepala yang membuat kalian terlena dengannya” Pesan ini selalu beliau ingat sampai beliau pulang ke tanah air.
Setelah di perbolehkan kembali ke Indonesia oleh sang guru tepatnya pada tahun 1996 M beliau langsung di minta menjadi salah satu pengajar di pondok beliau dulu (PP Darullughah Wadda’wah). Dari sinilah episode baru seorang ulama yang nasionalis dimulai. Selain memiliki kesibukan sebagai salah satu pengajar di PP Darullughah Wadda’wah beliau juga memiliki peranan penting di berbagai organisasi-organisasi besar seperti : NU, Rabithah Alawiyah, Hayatussofwah dan lain-lain, tetapi kesibukan-kesibukan tersebut tidak sedikitpun membuat beliau lupa akan tanggung jawabnya sebagai ayah yang memiliki tiga orang anak yang harus selalu di penuhi kebutuhan-kebutuhannya, terlebih lagi perhatian beliau terhadap pendidikan agama anaknya, bahkan beliau pernah berkata kepada salah seorang anaknya dengan perkataan yang tegas, “Lebih baik kamu jangan sekolah umum kalau pendidikan agamamu tidak kamu perhatikan, apalah arti orang yang pintar tanpa di dasari agama?!”. Sebagai seorang tokoh yang memiliki pengaruh dan wibawa yang besar beliau juga di kenal sebagai sosok yang tawaddu’ salah satu bukti dari ketawaddu’an beliau adalah : beliau tidak mau melangkahi orang lain dalam satu majelis jika beliau datang terlambat meskipun beliau harus kepanasan atau kehujanan padahal sebagai seorang ulama yang berpengaruh beliau bisa saja duduk di depan.
Begitulah sekilas perjalanan hidup Al-Habib Abdulloh Mulachela yang ditempuhnya dengan menghabiskan seluruh umurnya untuk kemaslahatan ummat. Bahkan menjelang akhir hayatnya beliau sangat gigih dan tekun mengajar dan meluangkan sebagian besar waktunya untuk murid-muridnya. Di antara amalan-amalan yang beliau laksanakan secara istiqomah adalah membaca wirid-wirid seperti Rotibul Haddad, dan amalain inilah yang beliau amalkan sampai hembusan nafas terakhir beliau. Wallohu A’lam
-
القراءة أهم الوسائل للإ ستزادة من المعارف
وإن هذه الاْ همية قد نطق بها القرآن الكريم بادئ ذي بدءعندما تلقى رسول الله صلى الله عليه واله وسلم اول آية نزلت إليه حيث قال جل جلاله آمرا بالقراءة : (إقرأ) (العلق :1) ولا عجب أن رأينا اعتناء الإسلام بهذا الشأن حيث أنثئت مكتبات علمية منذ العصر العباسي في عدة بلدان المسلمين وهذه المواقع عبارةعن تجسيد الإهتمام البالغ من قبل المسلمين وعلي رأسهم العلماء والمثقفون.لكن وجود هذه المراكز العلمية لا تجدي شيئا إذا لم يكن هناك إنصاف شخصي من الناس عن أهمية القراءة,فصارت المكتبات فقيرة من الرواد والقراء ولا تكد الكتب تفارق رفوفها ويتراكم الغبار عليها من طول إنتظار,ولسان حالها تقول:هل من قارئ يحملني ويتصفح صفحا تي؟
وتظهر آثا ر القراءة في شخصيةالمكثر منها واضحا,تجده رجلا ذاوعي بما حدث وذوق فيما حدث.ولا يخلو كلامه من تغبيرات هادفة,وعندما يعلق علي بحث داربين الباحثين مثلا كان الكلام تعليقا وتعميقا ويستند دوما علي معرفة سابقة بما قرأ مما له علاقة بالموضوع.تراه موسوعة علمية ثقافية له مقدرة لحل المشكلات من الفها الي الياء بالرغم من أنه لم يترك مسقط رأسه ولم يسا فر الي أي جا معة أو مؤسسةعلمية في خا رج البلاد.ولكنه لم يترك كرسيه لتناول الوجبات العقلية من خلال تغذية رأسه بالفوائد والشوارد.
المفردات:
بادئ ذي بدء :kali pertama
تجسيد :mewujudkan
المواقع : lokasi-lokasi
المراكز العلمية:pusat-pusat keilmuan
لا تجدي :tidak berfungsi
رواد :pemerhati
هادفة :mengarah
الشوارد : masukan-masukan
موسوعة :ensiklopedi
المثقفون : budayawan
إنصاف :kesadaran
-
Sufi terpopuler sepanjang masa
Helenisme atau aliran rasionalisme yunani dan ajaran bid’ah yang dulu berkembang pesat tidak dapat merasuk dan meracuni otak para tokoh dan ummat islam berkat jasa besar Imam Al-Ghozali yang mampu membentengi agama islam pada zamannya, karena itulah beliau mendapat gelar ‘Hujjatul Islam’.
Al-Ghozali tidak hanya sekedar ulama ahli fiqih tetapi juga seorang teolog, filsuf, seorang orator yang hebat, ahli retorika yang dahsyat sekaligus penulis islam yang produktif, outentik serta representative. Pribadi memukau beliau adalah buah dari doa sang ayah yang selalu istiqomah dalam menghadiri forum majlis ilmu dan bersahabat dengan para ulama seraya berdoa “Ya Allah, karuniakanlah aku anak-anak yang shalih seperti para ulama dan wali itu” Berkat keikhlasan doa yang sering ia panjatkan itulah ia di karuniai anak Muhammad Al-Ghozali dan Ahmad Al-Ghozali yang ke dua-duanya menjadi ulama terkemuka.
Muhammad Al-Ghozali sendiri lahir di Ghozalah sebuah kota kecil dekat kota Thuus di daerah Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Sang ayah yang shalih dan bersih hatinya mendidik anaknya dasar-dasar agama, membaca Al-Qur’an dan akhlak yang baik. Terlepas itu beliau juga membawa sang anak hadir dalam berbagai madjlis para ulama guna berjumpa dengan kaum sholihin dan mendapatkan ilmu serta doa dari mereka. Namun tak lama kemudian sang ayah sakit parah dan wafat, tapi sebelum malaikat maut datang menjemput nyawanya semangat beliau yang besar untuk menjadikan anak-anaknya sebagai kader yang berkuwalitas tetap membara dan menitipkan mereka beserta bekalnya kepada seorang sufi berilmu tinggi sekaligus temannya sendiri yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Namun selang kemudian ketika bekal mereka habis dan sang guru juga faqir maka mereka di titipkan kepada lembaga pendidikan yang menyediakan beasiswa agar segala kebutuhan hidup mereka terjamin sehingga dapat menyerap ilmu dengan mudah tanpa ada sesuatu yang membebani mereka.
Sejak kecil Imam Al-Ghozali telah menampakkan bakat yang mendarah daging dan kemauan yang tinggi, Ia selalu belajar dengan dengan tekun dan selalu meraih prestasi terbaik di kelasnya, di sekolahnya ia belajar kepada para guru dan para ilmuwan dengan berbagai karakter dan latar belakang pemikiran yang berbeda, tetapi yang paling ia kagumi dan dekati adalah Syekh Yusuf As-Sajjaj.Setelah lulus dari jenjang beliau Imam Al-Ghozali melanjutkan pendidikannya ke kota Jurjan yang saat itu memang sebagai sentral ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiyah. Di sana beliau mengambil ilmu dari ulama terkemuka yang bernama Abu Nasr Al-Isma’ili dan sekiranya telah mengantongi ilmu agama dan ilmu bahasa beliau jadikan ilmu tersebut sebagai oleh-oleh kepulangan beliau ke kampung halaman.
Sepercik kisah unik tentang ‘Ta’liqoh’ (Sebuah manuskrip imam Al-Ghozali berupa catatan ilmu dan ringkasan berbagai materi yang di sampaikan para guru beliau) kala itu di tengah perjalanan beliau bersama Khafilah di hadang oleh perampok dan semua barang bawaan di rampas. Ketika para perampok bergegas pergi Imam Al-Ghozali tidaklah menghawatirkan harta bendanya melainkan Ta’liqoh kesayangannya yang terdapat di dalam tas yang di rampas mereka, maka bergegaslah beliau mengejar dan mengikuti mereka hingga salah satu dari mereka berkata “ Pergilah ! Pulanglah! Jangan ikuti kami atau kau kami bunuh!” Beliau berkata “Demi Allah Tidak, aku hanya meminta dari kalian satu permintaan, kembalikan Ta’liqoh yang berada di dalam tasku!” “Ta’liqoh? Apa itu?” “Sebuah buku berisi ilmu-ilmu yang ku kumpulkan dari negri ke negri dengan susah payah dan lelah.tolong kembalikan padaku! Toh kalian tak membutuhkannya” mendengar pengakuan Imam Al-Ghozali ketua perampok tertawa dan kemudian yang lainpun ikut tertawa seakan mereka meremehkan Abu Hamid Al-Ghozali. Lalu dia berkata “Wahai pemuda, bagaimana engkau mengaku sebagai ahli ilmu sedangkan ilmu tidak engkau hapal dan hanya kau tuliskan di ta’liqoh itu! Apa jadinya bila ta’liqoh itu tetap ku ambil maka hilanglah ilmu yang kau raih dengan susah payah dari dirimu” kemudian dia menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan ta’liqoh itu kepada Imam Al-Ghozali. Semenjak itulah beliau semakin memperhatikan ilmu dan menghapalkan semua ilmu yang ia peroleh.
Eksistensi beliau dalam menuntut ilmu tetap berlangsung bahkan beliau melanjutkan study ke Naisabur untuk masuk Universitas tertua sepanjang sejarah, Universitas Nidzamiyyah yang saat itu di pimpin oleh ulama besar bernama Imam Haramain yang bermadzhabkan Syafi’iyah dan menganut aqidah Asy’ariyyah, kepada beliaulah Imam Al-Ghozali memperdalam ilmu fiqih, filsafat, mantiq, teologi, retorika, dan ilmu-ilmu lainnya. Kesungguhan dan potensi yang ia miliki menjadikan beliau sebagai murit terdekat imam haramain bahkan tak lama kemudian di angkat sebagai asisten utama imam haramain yang dipercaya menggantikan imam haramain dalam berbagai forum diskusi. Meskipun begitu Imam Al-Ghozali tetap berguru kepada imam Haramain hingga sang guru yang ia kagumi itu wafat pada tahun 1985 M.
Sepeninggalan sang guru, beliau di undang oleh pendiri Universitas Nidzamiyyah sekaligus perdana mentri yang bernama Nidzamul Muluk dan di minta untuk datang ke Baghdad dan tinggal di Muaskar yang memang pada zaman itu Muaskar adalah tempat pemukiman pembesar-pembesar kerajaan, orang-orang terkaya dan para ulama intelektual yang terkemuka. Istana Nidzamul muluk yang rutin diadakan forum-forum diskusi menjadi prasarana kemasyhuran Imam Al-Ghozali dalam keilmuan, kecerdasan, kekuatan hapalan dan keluasan wawasan beliau sehingga para ulama semakin kagum padanya bahkan di riwayatkan beliau mengadakan sebuah majelis diskusi dan pertemuan ilmiyah yang hanya di hadiri tiga ratus ulama besar yang mereka semua bersimpuh di hadapannya untuk mengadopsi ilmu atau mengajukan pertanyaan kepadanya karna itulah beliau di angkat sebagai penasihat kerajaan dan guru besar Universitas Nidzamiyah pusat pada tahun 1090 M.Ini adalah puncak keemasan beliau dalam meraih kehormatan dan prestasi duniawi karna itu adalah kebanggaan dan puncak kemuliaan seorang ulama di zaman itu.
Kehidupan glamor yang ia raih hanya ia rasakan selama lima tahun karna bisikan rohani yang mengingatkan beliau bahwa kemuliaan yang sebenarnya adalah kehormatan ukhrawi yang hakiki.Suatu ketika Imam Ahmad Al-Ghozali adik beliau datang menghampiri dan melantuntan puisi:
Wahai batu penajam pisau,
Sampai kapan engkau hanya membuat pisau tajam
Akan tetapi engkau tetap tumpul
Kalimat-kalimat mutiara ini tdak hanya keluar dari lisan begitu saja tetapi memang Imam Ahmad Al-Ghozali tulus ikhlas mengingatkan sang kakak dari hal-hal yang mungkin bisa menjauhkan Imam Al-Ghozali dari Allah SWT. Ternyata kalam hikmah tersebut menggugah Imam Al-Ghozali dan membuahkan hasil tafakkur yang mengantarkan beliau menuju jati diri yang sesungguhnya yaitu kesadaran diri bahwa semua yang selama ini ia rahih hanyalah sesuatu yang fana dan beliau mulai mengambil langkah menyatu dengan tuhanya dengan meninggalkan semua profesi yang ia dapat dan menerapkan konsep-konsep tasawwuf seperti Zuhud dan Wara’ serta pembersihan hati.Hal ini terbukti dengan uzlah beliau dari masjid ke masjid, dari kota ke kota, dari negri ke negri hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Pengasingan diri dan mujahadah serta tirakat yang ia tekuni selama sepuluh tahun itu di mulai dari perjalanan beliau menuju Damascus untuk beri’tikaf di menara masjid jami’ Umawi, aktifitas beliau hanya berdzikir, ibadah, puasa, qiyamul lail, mujahadah melawan hawa nafsu dan menziarahi kubur Nabi Ibrahim AS.Setelah dua tahun menekuni mujahadahnya beliau menuju palestina untuk beri’tikaf di masjid Al-Aqsha selama beberapa tahun dan kemudian mengekspresikan kerinduannya terhadap mekkah dan madinah dengan melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW. Selama sepuluh tahun itulah beliau menjinakkan hawanafsu dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jati diri yang berbeda sehingga tak ada satu orang pun yang mengenal beliau. Hingga pada tahun 1105 M barulah beliau kembali ke kampung halaman kota Thuus dengan background yang baru yaitu seorang Imam Al-Ghozali yang bukan hanya sekedar ilmuan atau ulama intelek tetapi juga seorang wali dan sufi sejati.
Etika dalam konsep kehidupan islam yang di sajikan oleh Imam Al-Ghozali tak hanya sekedar mendidik ummat islam menjadi pribadi muslim yang sempurna tetapi juga sebagai sebuah sarana yang menyatukan hamba bersama tuhannya sehingga tidak ada lagi hijab antara dia dan Allah SWT. argumen ini sebagaimana yang di paparkan oleh seorang tokoh wali kutub Al-Imam Abdulloh bin Alawy Al-Haddad “Barangsiapa yang ingin meniti jalan Allah dan rosul-nya, serta jalan wali-wali Allah, maka ia harus membaca kitab karangan-karangan Al-Ghozali, terutama kitab Ihya’, karena kitab ini tak ubahnya seperti lautan yang luas”.
Renan dan Carra de Vaux memang non-muslim, tetapi karna kedasyatan keilmuan yang di miliki Imam Al-Ghozali mereka dan beberapa tokoh non-muslim lainnya mengagumi pemikiran Imam Al-Ghozali . St.Thomas Aquinas mengadopsi sebagian argument teologi beliau demi mengokohkan kekuasaan agama Kristen ortodoks di barat. Bahkan doktrin teologi Al-Ghozali telah mewabah ke eropa dan merasuk ke kalangan yahudi dan nasrani.
-
Masail Diniyah Edisi Shofar 1432 Hijriyah
1. bagaimana cara menegur khotib ketika meninggalkan slh satu rukun khutbah pd saat berkhutbah
Yahya, Kal-Sel, 085230984xxx
2. Apakah termasuk penghinaan jika menyebut nama nabi tanpa gelar (misal nabi adam disebut adam saja,tanpa gelar nabi /alaihissalam)
Fahmi, Malang, 03419091xxx
3. Apakah di negara kta itu kafirnya termasuk kitabi apa bukan...? Syukron katsir.
Uyun, Pasuruan, 082143145xxx
4. bagaimana hukumnya akad jual beli pulsa,banyak mengatakn haram,alasannya barangnya tidak nyata.Benarkh tidak nyata.Klo haram bagaimana solusix
Amin, Bondowoso, 081234709xxx
5. Sy punya tetangga Non Muslim yg baik & orangnya bermasyarakat, beberapa tahun yg lalu dia meninggal dunia. 1) bagaimana hukum mentahlilinya {mendoakannya}? Krn sbagian tetanga ada yg mendoakannyaada yg tdk mau dg alasan dia orang non muslim. 2) bagaimana sebaiknya sikap kita jika terjadi hal demikian?
Abd. Wahid, Situbondo, 085258293XXX
6. dlm shlt stiap grkn mmbc takbir,prtaxa"n knp pd sa"t bngun dr rkuk mmbc Sami'allahuliman Hamidah. . .?
Mahmudah, Sumenep, 087856033XXX
-
Wawancara Bersama Habib Riziq Bin Syahab
Saat ini moral bangsa berada dalam kondisi yang kritis. Dengan indikasi rendahnya moral dan hilangnya nilai-nilai kejujuran yang dahulu menjadi identitas bangsa ini. sebenarnya apa yang terjadi?
ana setuju tadi apa yang antum katakan, bahwa sebetulnya krisis yang mendasar di indonesia ini adalah krisis akhlaq. karena akhlaq ini kalau sudah krisis akan membuat orang kehilangan rasa malu, tidak punya identitas, tidak punya kemuliaan diri, tidak punya kehormatan diri. Jadi mereka bisa melakukan apa saja. Nabi pernah berkata dalam hadis, idza lam tastahi fashna' ma syi'ta,
kalau kau sudah tidak punya malu, maka kerjakan apa yang kau inginkan.
jadi kita lihat di indonesia ini, mulai dari pejabat sampai rakyat yang begitu mudah untuk melakukan ketidakjujuran,untuk melakukan kebohongan, melakukan korupsi, penipuan, melakukan berbagai kemungkaran secara terang-terangan karena malu sudah tidak ada. Dan malu itu merupakan syu'bah minal iman. Malu ini merupakan pondasi akhlaq. Dan omong kosong kalau kita bicara iman, ihsan tanpa akhlaq.
Maka dari itu nabi mengajarkan kita dalam hadis jibril bahwa arkanuddin ada tiga, iman, islam, ihsan.
dan akhlaq itu adanya di dalam al-ihsan. Jadi kalau disebut arkan, merupakan satu hal yang tidak bisa tidak, harus ada dan dia masuk dalam hakikat sesuatu. Satu saja tidak ada, maka dia tidak ada, agama, iman islam tanpa ihsan, ga sempurna agama. Islam dengan ihsan tanpa iman omong kosong. Jadi ketiga hal merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Jadi betul apa yang antum katakan tadi bahwa dasar dari segala yang terjadi di kita punya republik ini adalah krisis akhlaq. Dan akhlaq lebih luas dari moral. Moral, budi pekerti itu masih ada unsur-unsur buatan manusia, tapi kalau sudah disebut akhlaq berarti sudah berkaitan dengan nilai-nilai dalam syariat.
Apakah ini bukan karena ketidaksiapan generasi muda dan tidak adanya antisipasi dari ulama dalam menghadapi lompatan teknologi (leap of technology) sehingga nilai-nilai agama sudah luntur?
Jadi begini, kita disini bukan mau mencari kambing hitam, tapi kita tidak mau ada pihak-pihak tertentu yang menyalahkan anak-anak muda. Anak-anak muda ini ibarat gelas kosong, gelas kosong mau diisi susu jadi, diisi air jadi, kopi atau teh jadi. Sebetulnya anak-anak muda bangsa ini tergantung siapa yang ngisi. Nah, yang mengisi di negeri ini ada dua kekuatan, al-ulama dan al-umara’, shinfani minannasi in sholuha sholuhan nas, in fasada fasadan nas. Jadi dua ini yang berperan dalam mengisi anak muda, untuk mengisi masyarakat, bagaimana mengarahkan mereka, dua ini harus seiring, sejalan di dalam pengisian tadi. Kita tidak pungkiri ada ulama-ulama sebagaimana disampaikan oleh nabi alaihis sholatu was salam, bahwa ulama itu ada ulama kheir, ada ulama su’. Tapi Alhamdulillah dari segi kualitas dan kuantitas, ulama yang kheir di Indonesia ini luar biasa banyaknya, luar biasa. Dan upaya mereka untuk mengisi wadah kosong yang ada di generasi muda ini juga sudah luar biasa. Apa melalui pendirian pondok pesantren, melalui majlis-majlis ta’lim, melalui tabligh, melalui da’wah, melalui berbagai macam media, ini usaha ulama sudah luar biasa, dengan segala kurang dan lebihnya. Sekarang muncul tuduhan, ada yang menuduh rusaknya generasi muda ini, ini semua tanggung jawab ulama dengan alasan begini, umara itu kan membangun fisik, ulama membangun mental. Kalau mentalnya rusak berarti ulama yang salah, bukan umara’. Umara’ sudah membangun fisik dan berhasil menurut mereka. Ulama membangun jaringan telepon, jaringan listrik, air dan lain sebagainya, sedangkan mental rusak karena ulah ulama tidak berhasil membangun mental. Ini kata mereka. Bukan bermaksud untuk menjawab sembarangan posisi ulama tapi ada satu yang sedikit harus diwaspadai. Umara’ betul tugasnya adalah membangun fisik tapi muncul pertanyaan bagaimana umara itu membangun fisik bisa berhasil, ternyata fakta di lapangan karena dukungan ulama. Tidak ada ulama yang menggangu pemerintah membangun jalan, sarana, fasilitas umum, Bahkan di banyak kesempatan pemerintah mau membebaskan tanah aja minta bantuan ulama, kasih pengertian kepada masyarakat supaya masyarakat merelakan tanahnya, artinya, kenapa umara bisa berhasil membangun fisik karena didukung sama ulama, ada sinergi. Tapi yang kita sayangkan tidak sebaliknya,
-
Tarekat Buah Syariat Secara Total
Bertarekat diadjustment sebagai jalan menuju Allah, akan tetapi banyak orang bertarekat tidak berangkat dari dasar syariat yang kuat. Tarekat punya silsilah sanad yang jelas dan langsung dari sahabat penghulunya Rasulullah saw. Maka bertarekat tanpa syariat jelas tidak akan sampai kepada perilaku sahabat dan Rasulullah yang berakhlakul karimah.
Memahami hikmah dibalik metabolisme tubuh
Apa yang ada dalam diri manusia, secara fisik orang tersebut telah dianugerahi rizki oleh Allah azza wajalla. Ketika suapan nasi itu masuk ke dalam tubuh melalui mulut, tidak mungkin kecuali mulut bertawasul kepada tangannya, untuk memasukkan makanan ke mulut. Di mulut makanan dihancurkan oleh gigi serta Allah memberikan enzim-enzim yang bertugas melembutkan makanan. Lantas kenapa harus menggunakan tangan kanan, karena tangan kanan? Karena tangan kanan dan kaki kanan menghubungkan kepada urat-urat yang bersambung pada sebelah kiri jantung.
Ketika kita membuka mulut dan memasukkan makanan, Allah telah menunjukkan sisi transparan atau keseimbangan bahwa disetiap kali menelan makanan, jantung kita berhenti karena bahan makanan sedang menuju dari tenggorokan ke lambung.
Lambung sebagai salah satu organ pencernaan, tidak pernah ada klaim oleh lambung bahwa pencernaan ini adalah hasil karyanya. Ketika kita minum, maka empedu meneteskan beberapa cairan yang berisi enzim-enzim penghacur makanan. Bekerjalah pencernaan dilambung.
Lambung bagaikan bejana, yang tiap hari mengolah berbagai macam makanan yang masuk ke mulut kita. Dari sayuran, berganti lauk pauk, berganti menu-menu lain setiap harinya. Ibarat piring, tiap hari dipakai akan tiap kali itu pula harus dicuci untuk persiapan menu yang lain. Lantas bagaimana dengan bejana yang kita punyai ini, dengan apa pencuciannya? Allah mensyariatkan puasa Ramadlan, sebagai salah satu mekanisme pencucian lambung. Setiap kali puasa, dengan kondisi panas dalam tubuh kita, lambung mengalami pencucian dari segala macam penyakit yang ikut masuk dalam makanan kita.
Puasa-puasa sunnah dan Ramadlan memberikan kesehatan yang lebih, merujuk pada hadits shoumu tasihhu.
Makanan dari lambung tadi dibantu oleh pankreas dan ginjal ikut bekerja keras, dengan organ-organ usus halus untuk kemudian diambil sari patinya. Rasulullah setelah makan tidak langsung minum, karena beliau menyadari enzim-enzim sedang bekerja di organ tubuh di perut, demi menyelamatkan makanan yang telah dicerna. Akhirnya distribusi sari pati makanan tadi menjadi darah merah, darah putih, sperma, keringat, air kencing dan tinja.
Kerjasama seluruh organ tubuh tersebut merupakan cermin ukhuwah dalam diri manusia. Sejalan dengan hadits almu’min akhul mu’min. Semua organ mempunyai fungsi dan potensi masing-masing. Begitu juga enzim-enzim bekerja saling membantu organ untuk mengolahnya menjadi makanan bagi tubuh.
Maka kemudian ahli tasawwuf mengemukakan : man ‘arrafa nafsahu faqod arrafa rabbahu. Kita berangkat mengenal Allah dari mengenal dan mencermati organ-organ tubuh kita. Seperti layaknya darah yang mengalir dari rongga jantung ke otak kecil. Jantung mempunyai empat rongga sirkulasi darah, diantara dua rongga jantung bagian atas terdapat bagian yang disebut hati (qalb) sebagaimana redaksi hadits yang masyhur. Diruang qalb itulah Allah menempatkan ruh manusia ( Fainna fil jasadi mudghah, fain hasana hasana kulluha, fain fasada fasada kulluh).
Dalam amaliyah dzikr as-sirru (dzikir dalam hati) sering disebutkan ismu dzat latoifullirruh min nuuri lailaha illallah. Artinya setiap darah yang kualitasnya kurang baik, kemudian dipompa ke otak kecil akan menimbulkan efek yang kurang bagus. Seperti kita liat darah kotor yang dipompa ke seluruh tubuh, akan menimbulkan bisul, disisi lain menimbulkan asam urat, penyumbatan arteri dan lainnya. Syareat dzikir sirr menimbulkan efek panas untuk membakar setiap darah kotor yang akan dipompa ke otak kecil, berkat nur lailaha illallah darah yang dipompa akan menjadi baik untuk konsumsi tubuh kita.
Dzikir-dzikir yang kita baca kesemuanya ada dosis khusus, mempunyai efek khusus pada tubuh kita. Dalam kitab sabilul muhtadin, dzikir sirr lebih baik tujuh puluh derajat dari dzikir jahr. Begitu banyak Allah memendam rahasia-rahasia dzikir sirr, salah satu yang terungkap adalah untuk kesehatan badan kita, serta tetapnya rahmat Allah. Maka kemudian setiap wali Allah mempunyai hitungan khusus dalam membaca dzikir itu untuk menggapai manfaat atau khasiat tertentu.
Menggapai Rahmah dengan Amal Soleh lewat tarekat
Allah berfirman udhulul jannata birohmati, masuklah kalian semua ke surga dengan rahmah Allah. Dengan catatan rahmat Allah tidak akan diperoleh dengan amal yang sholeh. Diceritakan oleh salaf, bahwa kemudian nanti ada seorang yang amalnya semua jelek. Ketika malaikat akan memasukkan ke dalam neraka, Allah mencegahnya karena hamba tersebut sering mengucapkan dzikir sirr lailaha illallah karena kecintaan hamba kepada Allah. Hal ini terjadi karena malaikat tidak menjangkau apa yang ada dalam hati kita. Begitu bijaksananya Allah azza wajalla kepada hambanya.
Syariat yang kita pelajari secara kontinyu akan menghasilkan tarekat. Tarekat tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan buah dari perilaku syareat kita nantinya. Di zaman Rasulullah para sahabat telah bertarekat semuanya, Allah sendiri mengabadikan dalam al-Quran :
وَالّذِينَ مَعَهُ أَشِدّآءُ عَلَى الْكُفّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكّعاً سُجّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مّنَ اللّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مّنْ أَثَرِ السّجُودِ
Kita lihat perilaku sahabat dizaman nabi telah bertarekat, seperti beberapa kisah diantara waktu antara maghrib dan isya mereka bisa membaca beberapa juz dari al-Quran. Mereka juga melakukan shalat rawatib secara sempurna, membaca ratib dan lainnya. Kita bisa melihat bahwa akhlak nabi, sahabat dan ulama-ulama di zaman mereka, karena mereka semua telah bertarekat (bertasawuf). Waktu dizaman itu dipenuhi dengan keberkahan. Ini diceritakan di kitab Haqoiqu Tasawuf.
Natijah (buah) dari bertarekat ditetapkan oleh Allah sebagai golongan alladzina an’amta alaihim, minannabiyiin wassiddiqin, wassuhada, wassholihin, wahasuna ulaika rafiiqa, dan man aata ‘alaina biqolbin saliim. Disarikan dari Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan.
-
Kalimat Tahrir edisi shofar 1432 H
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Menginjak edisi shofar-Robi'ul awwal,redaksi mengambil tema urgensi pendidikan moral menjadi pembahasan yang tidak pernah bosan untuk direcycle.Dengan menghadirkan kajian kajian salaf,untuk selalu memberikan kontribusi yang memang dibutuhkan sahabat setia majalah EL BASHIROH.Redaksi selalu berbenah untuk itu.
Barometer pendidikan moral bangsa memang sedang diuji serius,apakah kita masih pantas dengan predikat ketimuran kita.Dalam mabhast kali ini,redaksi mencoba mencari titik terang agar permasalahan moral bangsa bersama habib Rizik bin syahab.Semoga sahabat EL BASHIROH mendapatkan pencerahan yang hakiki dalam melangkahkan kaki ke depan nantinya.
Dalam psikologi sufi,ulasan habib lutfi bin yahya sepertinya menyadarkan kita betapa jalur yang diambil sadah(keturunan Nabi) sangatlah kuat dari sisi hukum.Bertarekat cara sadah ba'alawi telah digariskan secara turun temurun didukung sanad yang kuat.Sedangkan dalam bertarekat telaah yang paling utama adalah kesiapan salik dalam memahami syariat secara total dan memahaminya sebagai kesatuan yang utuh(bukan parsial).
Tugas redaksi dalam kelanjutannya semakin kompleks,dalam memahami situasi sosial keberagaman yang semakin global mengikuti perkembangan zaman.Untuk memenuhi kebutuhan sahabat EL BASHIROH dalam memahami dinamika kehidupan,redaksi senantiasa berusaha menangkap momen tersebut,untuk kemudian dibahas cara in depth.Tentunya dalam mainstream yang tepat,ya'ni salafus sholeh.Redaksi yakin akan mampu menjawab tantangan ke depan.
Dukungan semangat,moril dan insentif sahabat EL BASHIROH kami harapkan selalu.Ini akan menjadi motor spirit bagi redaksi untuk melangkah lebih dekat di hati sahabat EL BASHIROH.
Wassalamu'alaikum.
Salam Redaksi.
Langganan:
Postingan (Atom)